TAFSIR
AYAT AL-QUR’AN SURAT AN-NAHL AYAT 5-9
(Tafsir
tentang Produksi dan Penjelasan Al-Hadits)
A.
PENDAHULUAN
Surat
ini terdiri atas 128 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Surat ini
dinamakan “An-Nahl” yang berarti “lebah” karena di dalamnya terdapat
firman Allah Swt. Ayat 68 yang artinya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.
Lebah
adalah makhluk Allah yang banyak memberi manfaat dan keni’matan kepada manusia.
Ada persamaan antara madu yang dihasilkan oleh lebah dengan Al-Qur’anul Karim.
Madu berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi obat bagi
bermacam-macam penyakit manusia (lihat ayat 69). Sedang Al-Qur’an mengandung
inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi zaman dahulu
ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua bangsa sepanjang masa
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (lihat surat [10] Yunus
ayat 57 dan surat [17] Al-Isra’ ayat 82). Surat ini dinamakan pula “An
Ni’am” artinya ni’mat-ni’mat, karena di dalamnya Allah menyebutkan perbagai
macam ni’mat untuk hamba-hamba-Nya.
Salah
satu ni’mat tersebut adalah diciptakannya hewan ternak yang mempunyai berbagai
manfaat dan kegunaan. Selain dagingnya yang dapat dimakan, ternak-ternak
tersebut dapat diambil susunya untuk dikonsumsi. Tidak hanya untuk konsumsi
makanan, ternak-ternak juga dapat dimanfaatkan untuk fungsi yang lain yaitu
sebagai alat transfortasi. Ternak-ternak juga dapat diambil kulitnya untuk
dijadikan bahan pakaian dan benda-benda lainnya. Manfaat dari ternak tersebut
dijelaskan dalam ayat 5-9 surat An Nahl.
B.
PEMBAHASAN
An-Nahl merupakan surat ke-16 pada juz ke-14 serta merupakan kelompok
surat Makkiyah kecuali tiga ayat terakhir yang Madaniyyah. Mengenai ayat 5
sampai dengan ayat 9 dari surat An-Nahl tidak terdapat petunjuk dari Al-Hadits yang menjelaskan
latar belakang (asbabunuzul) ayat-ayat tersebut. Adapun dalam ayat-ayat
dalam surat ini yang terdapat asbabunnuzulnya adalah ayat 1, 38, 41, 42, 75,
76, 80, 81, 82, 83, 91, 92, 103, 106, 110, 126, 127, dan 128). Ayat-ayat yang
terdapat asbabunnuzulnya tersebut kebanyakan membicarakan tentang nikmat Allah
dan mengenai orang-orang musyrikin.
Kandungan
surat An-Nahl secara keseluruhan meliputi tema-tema tauhid dan
sarana-sarananya, ayat-ayat kekuasaan Allah, ciptaan Allah yang ditundukkan
untuk manusia, orang-orang yang mengingkari keesaan Allah, balasan Allah
terhadap mereka yang menyekutukan-Nya, balasan Allah untuk orang-orang yang bertaqwa,
pertanyaan orang-orang musyrik, sebab-sebab orang musyrik, kesombongan kaum
musyrikin, larangan mempersekutukan Allah, perlakukan kaum musyrikin terhadap
wanita, pandangan Islam terhadap wanita dan pandangan hukum Allah, tujuan
diutusnya para Rasul dan diturunkannya Al-Qur’an, pengingkaran atas nikmat
Allah, peristiwa hari berbangkit, kebencian abadi Setan terhadap risalah
Al-Qur’an, dan hukum orang-orang yang murtad[2].
وَٱلۡأَنۡعَٰمَ
خَلَقَهَاۖ لَكُمۡ فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَافِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٥ وَلَكُمۡ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ
وَحِينَ تَسۡرَحُونَ ٦ وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُونُواْ
بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِۚ إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ٧ وَٱلۡخَيۡلَ
وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ وَيَخۡلُقُ مَا لَا
تَعۡلَمُونَ ٨ وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ وَلَوۡ
شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ ٩
Artinya : 5.
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfa’at, dan sebahagiannya kamu makan.
6. Dan kamu memperoleh
pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan
ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7. Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
8. dan (Dia telah
menciptakan) kuda, bagal[4]
dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
9. Dan hak bagi Allah
(menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan
jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang
benar).
3.
Makna Mufradat
Tafsir Jalalain[5]
وَالْاَنْعَامَ (Dan binatang ternak) yakni unta,
sapi, dan kambing. Lafaz al-an’ama dibaca nasab karena dinasabkan oleh fi’il
yang diperkirakan keberadaannya, lalu fi’il tersebut ditafsirkan atau
dijelaskan oleh lafaz berikut ini, yaitu خَلَقَهَالَكُمْ (Dia
telah menciptakannya untuk kalian) sebagian dari manusia فِيْهَادِفْءٌ (padanya ada kehangatan) yaitu bulu
dan kulitnya dapat dibuat pakaian dan selimut untuk penghangat tubuh kalian وَمَنَافِعُ (dan berbagai manfaat) yaitu dari
anak-anaknya, air susunya, dan dapat dijadikan sebagai kendaraan وَمِنْهَاتَأْكُلُوْنَ (dan sebagainya kalian makan) zaraf
didahulukan karena untuk tujuan fasilah.
وَلَكُمْ
فِيْهَاجَمَالٌ (Dan
kalian memperoleh pandangan yang indah padanya) yakni sebagai perhiasan
kalian حِيْنَ تُرِيْحُوْنَ (ketika
kalian membawanya kembali ke kandang) ketika kalian menggiringnya kembali
ke kandangnya di waktu sore hari وَحِيْنَ
تَسْرَحُوْنَ (dan
ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan) kalian mengeluarkannya
dari kandangnya menuju ke tempat penggembalaan di waktu pagi hari.
وَتَحْمِلُ
اَثْقَالَكُمْ (Dan
ia dapat memikul beban-beban kalian) barang-barang kalian
إِلَىٰ بَلَدٖ لَّمۡ تَكُوْنُواْ
بَٰلِغِيهِ (ke
suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya) kalian tidak
sanggup mencapainya tanpa memakai kendaraan unta إِلَّا
بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِ (melainkan dengan
kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri) yang membuat payah diri kalian إِنَّ
رَبَّكُمۡ لَرَءُوْفٞ رَّحِيْمٞ (Sesungguhnya
Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) terhadap
kalian, Dia telah menciptakannya untuk kalian manfaatkan.
وَ (dan) Dia telah menciptakan الْحَيْلَ
وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَلِتَرْكَبُوْهَاوَزِيْنَةً (kuda,
bigal, dan keledai agar kalian menungganginya dan menjadikannya sebagai
perhiasan) lafaz zinatan menjadi maful lah disebutkannya kedua ‘illat itu,
yaitu untuk ditunggangi dan dianggap sebagai perhiasan; hal ini sama sekali
tidak bertentangan dengan manfaat lain yang ada padanya. Seperti halnya pada
kuda, selain dapat ditunggangi dan dijadikan perhiasan, dagingnya dapat
dimakan. Hal ini telah ditetapkan berdasarkan hadis sahihain. وَيَخۡلُقُ
مَا لَا تَعۡلَمُوْنَ (Dan
Allah menciptakan apa yang kalian tidak mengetahuinya) berupa hal-hal yang
aneh dan menakjubkan.
وَعَلَى
اللَّهِ قَصۡدُ السَّبِيْلِ (Dan
hak bagi Allah menerangkan jalan yang lurus) hak bagi Allah menjelaskannya وَمِنْهَا (dan
diantara jalan-jalan) tersebut جَآئِرٞ (ada
yang bengkok) menyimpang dari jalan yang lurus
وَلَوۡ شَآءَ (Dan
jikalau Dia menghendaki) untuk memberi petunjuk kepada kalian
لَهَدَىٰكُمۡ (niscaya Dia memberi
petunjuk kepada kalian) ke jalan yang lurus أَجۡمَعِيْنَ (semuanya)
sehingga kalian semua mendapat petunjuk ke jalan yang lurus itu atas kehendak
kalian sendiri.
Tafsir
Hidayatul Insan[6]
Dan
hewan ternak (yaitu unta, sapi, dan kambing) telah diciptakan-Nya untuk
kamu (untuk manfaat dan maslahat kamu, di antaranya kamu memperoleh
kehangatan dari bulunya, dan memperoleh manfaat lainnya), padanya ada (bulu)
yang menghangatkan dan berbagai manfaat (bisa diternakkan, diambil susunya,
dan ditunggangi), dan sebagiannya kamu makan.
Dan
kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang (disore
hari) dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat penggembalaan) (dipagi
hari).
Dan
ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya
(jika tidak menggunakan unta, lebih dari itu, ia pun mengangkut kamu),
kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
(oleh karena itu, Dia menciptakan hewan tersebut untuk kamu serta menyiapkan
segala yang kamu butuhkan dan kamu perlukan, maka segala puji bagi Allah sesuai
dengan keagungan wajah-Nya, besarnya kekuasaan-Nya dan luasnya kepemurahan-Nya).
Dan
(Dia telah menciptakan) kuda, bagal (bagal yaitu anak dari perkawinan kuda
dengan keledai), dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan
(tidak disebutkan “untuk dimakan” karena bagal dan keledai negeri haram
dimakan, adapun kuda diizinkan oleh Nabi shallalahu’alaihi wa sallam untuk
dimakan). Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (berupa
menciptakan sesuatu yang menarik dan ajaib. Tidak disebutkan contohnya oleh
Allah Subhaanahu wa Ta’aala, karena Dia tidaklah menyebutkan di dalam kitab-Nya
selain sesuatu yang diketahui hamba-hamba-Nya atau yang serupa dengannya,
karena jika tidak begitu hamba-hamba-Nya tidak akan tahu dan tidak akan
memahami maksudnya. Dia menyebutkan asal (dasar) yang mencakup apa yang mereka
ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Misalnya menyebutkan kenikmatan surga,
disebutkan di antaranya yang kita ketahui dan yang kita saksikan persamaannya,
seperti pohon kurma, anggur dan delima, sedangkan yang tidak kita ketahui, Dia
menyebutkan secara garis besar, seperti dalam firman-Nya, “Di dalam kedua surga
itu terdapat aneka buah-buahan yang berpasang-pasangan”[terj. Ar-Rum:52]).
Dan
hal Allah (menerangkan) jalan yang lurus (yaitu jalan yang menyampaikan
kepada Allah dan kepada surga-Nya), dan di antaranya ada (jalan) yang
menyimpang. Jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk kamu semua (ke
jalan yang benar) (Dia menunjukkan sebagian kamu karena kepemurahan dan
karunia-Nya, dan tidak menunjuki yang lain karena hikmah dan keadilan-Nya).
Allah
Swt. menyebutkan nikmat yang Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, antara lain
Dia menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu unta, sapi, dan kambing,
seperti yang telah dirinci di dalam surat Al-An’am sampai dengan friman-Nya, “Samaniyata
azwaj” (delapan ekor ternak yang berpasang-pasangan). Allah pun telah
menjadikan pada binatang-binatang ternak itu berbagai manfaat dan kegunaan buat
mereka, yaitu bulunya mereka jadikan pakaian dan hamparan, air susunya mereka
minum, dan anak-anaknya mereka makan, serta pandangan yang indak pada ternak
mereka sebagai perhiasan buat mereka. Untuk itulah disebutkan dalam firman-Nya:
وَلَكُمۡ فِيهَا جَمَالٌ
حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ...
Dan kalian memperoleh pandangan yang indah ketika kalian membawanya
kembali ke kandang, (An-Nahl:6).
Artinya,
disaat ternak kembali dari tempat pengembalaannya di petang hari, maka ternak
unta kelihatan sebagai ternak yang memiliki pinggang paling panjang, tetek
paling besar, dan punuk yang paling tinggi.
...وَحِينَ
تَسۡرَحُونَ.
Dan ketika kalian melepaskannya ke tempat
penggembalaan, (An-Nahl:6).
Yakni
di pagi hari ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan.
وَتَحۡمِلُ
أَثۡقَالَكُمۡ...
Dan
ia memikul beban-beban kalian, (An-Nahl:7).
Maksudnya,
bawaahn kalian yang berat-berat yang kalian tidak mampu mengangkat dan
bembawanya.
...إِلَىٰ
بَلَدٖ لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ...
Ke suatu negeri yang kalian tidak
sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan)
diri, (An-Nahl:7).
Yakni
dalam perjalanan kalian menuju ibadah haji dan umrah, berperang dan berniaga
serta tujuan-tujuan lainnya; kalian dapat menggunakannya untuk berbagai
keperluan, yaitu sebagai kendaraan dan pembawa muatan barang-barang kalian.
Ayat ini semakna denga firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
وَإِنَّ
لَكُمۡ فِي ٱلۡأَنۡعَٰمِ لَعِبۡرَةٗۖ نُّسۡقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهَا وَلَكُمۡ
فِيهَا مَنَٰفِعُ كَثِيرَةٞ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٢١ وَعَلَيۡهَا وَعَلَى ٱلۡفُلۡكِ
تُحۡمَلُونَ ٢٢
Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak,
benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu
dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak
itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu maka
dan di atas punggung binatang-binatang
ternak itu dan (juga) di atas perahu-perahu kamu diangkut, (Al-Muminun:21-22).
Karena itulah setelah
menyebutkan berbagai macam nikmat melalui firman-Nya, dalam ayat berikut ini
disebutkan:
...إِنَّ
رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (An-Nahl:7).
Yakni Tuhanlah yang telah menyediakan hewan-hewan
ternak itu buat kalian dan yang menundukkannya buat kalian, sama halnya dengan
yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
أَوَ
لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا خَلَقۡنَا لَهُم مِّمَّا عَمِلَتۡ أَيۡدِينَآ أَنۡعَٰمٗا
فَهُمۡ لَهَا مَٰلِكُونَ ٧١ وَذَلَّلۡنَٰهَا لَهُمۡ فَمِنۡهَا رَكُوبُهُمۡ
وَمِنۡهَا يَأۡكُلُونَ ٧٢
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa
sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu
sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri,
lalu mereka menguasainya
Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu
untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya
mereka makan.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya:
فِيهَا دِفۡءٞ
Padanya ada (bulu) yang menghangatkan, (An-Nahl:5).
Yang dapat mereka jadikan sebagai pakaian
وَمَنَٰفِعُ
Dan berbagai manfaat, (An-Nahl:5)
Yakni manfaat lainnya, yaitu dagingnya dapat kalian
makan dan susunya dapat kalian minum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud
dengan dif’un dan manafi’ ialah keturunan dari semua hewan
ternak.
Mujahid mengatakan bahwa makna firman-Nya:
...فِيهَا
دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ...
Padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai manfaat, (An-Nahl:5)
Artinya pakaian dari hasil tenunan bulunya; dan
berbagai manfaat lainnya dari hewan ternak, yaitu sebagai kendaraan, dimakan
dagingnya, dan diminum air susunya.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya:
...دِفۡءٞ
وَمَنَٰفِعُ...
…(bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat…, (An-Nahl:5)
Yakni pada binatang ternak terdapat bahan pakaian, makanan
dan minuman, serta sarana transportasi. Hal yang sama telah dikatakan oleh
banyak kalangan ulama tafsir dengan ungkapan yang berdekatan.
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ
وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ وَيَخۡلُقُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya.
Jenis
hewan lain yang diciptakan oleh Allah Swt. buat hamba-hamba-Nya sebagai
anugerah-Nya buat mereka ialah kuda, begal, dan keledai yang dapat dipergunakan
untuk kendaraan dan perhiasan. Itulah kegunaan hewan-hewan tersebut yang paling
menonjol.
Mengingat
ketiga jenis hewan ini dipisahkan penyebutannya dari hewan ternak, maka ada
sebagian ulama yang dengan berdalilkan ayat ini mengatakan bahwa daging kuda
hukumnya haram. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Imam Abu
Hanifah dan ulama fiqih lainnya yang sependapat dengannya, dengan alasan bahwa
Allah Swt. menyebutkan kuda bersama dengan penyebutan begal dan keledai; karena
itulah maka kuda haram, seperti yang disebutkan juga di dalam sunnah nabawi dan
pendapat sebagian besar ulama.
Imam
Abu Ja’far ibnu Jaris mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam
Ad-Dustuwa-I, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari maula
Nafi’ ibnu Alqamah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas tidak menyukai
(memakruhkan) daging kuda, bagal, dan keledai. Ia mengatakan pula sehubungan
dengan makna firman-Nya:
وَٱلۡأَنۡعَٰمَ خَلَقَهَاۖ
لَكُمۡ فِيهَا دِفۡءٞ وَمَنَٰفِعُ وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu
makan, (An-Nahl:5)
Yang
disebutkan dalam ayat ini adalah hewan ternak yang dapat dimakan dagingnya.
Sedangkan firman berikutnya:
وَٱلۡخَيۡلَ
وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا...
Dan (Dia telah menciptakan) kuda,
bagal, dan keledai agar kalian menungganginya…,
(An-Nahl:8)
Menerangkan
jenis hewan yang digunakan untuk dikendarai. Hal yang sama telah diriwayatkan
melalui jalur Sa’id ibnu Jubair dan lain-lainnya, dari Ibnu Abbas, dengan lafaz
yang semisal. Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama telah
dikatakan pula oleh Al-Hakam ibnu Utaibah r.a.
Mereka
mengatakan demikian dengan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
di dalam kitan Musnad-nya; disebutkan bahwa telah menceritakan kepada
kami Yazid ibnu Abdu Rabbihi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul
Walid, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari saleh ibnu Yahya
ibnul Miqdam ibnu Ma’dikariba, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Khalid ibnul
Walid yang mengatakan bahwa:
نَهَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكَلَ لُحُوْمَ الْخَيْلِ
وَالْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ.
Rasulullah Saw. Melarang memakan daging kuda, bagal, dan
keledai.
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam ibnu Majah
mengetengahkannya melalui hadis Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, tetapi predikat siqah-nya
masih disangsikan.
Imam Ahmad meriwayatkan pula melalui jalur lain secara lebih
panjang daripada riwayat yang pertama. Untuk itu ia mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Salim, dari
Saleh ibnu Yahya ibnul Miqdam, dari kakeknya (yaity Al-Miqdam ibnu Ma’dikariba)
yang mengatakan, “Kami bersama Khalid ibnu Walid memerangi As-Sa-ifah, kemudian
teman-teman kami memberikan daging kepada kami, dan sebagai imbalannya mereka
meminta seekor kuda, maka saya berikan kuda itu kepada mereka dan mereka
mengikatnya. Maka saya katakan kepada mereka, “Kalian tunggu dahulu, hingga aku
datang kepada Khalid untuk bertanya kepadanya”.
Maka saya datang kepada Khalid dan menanyakan masalah itu
kepadanya, maka Khalid menjawab, “Kami berperang bersama Rasulullah Saw. dalam
Perang Khaibar”. Maka pasukan kaum muslim bersegera menyerbu kandang ternak
milik orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw. memerintahkan kepadaku untuk
menyerukan bahwa salat didirikan dengan berjamaan dan tidak akan masuk surga
kecuali hanya seorang muslim.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
اَيُّهَاالنَّاسُ: اِنَّكُمْ قَدْاَسْرَعْتُمْ
فِيْ حَظَائِرِيَهُوْدَ، اَلَالَايَحِلُّ اَمْوَالُ الْمُعَاهَدِيْنَ اِلَّابِحَقِّهَا
وَحَرَامٌ عَلَيْكُمْ لَحُوْمُ الْحُمُرِالْأَهْلِيَّةِوَخَيْلِهَا وَبِغَالِهَا، وَكُلُّ
ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
Hai manusia, sesungguhnya kalian telah bersegera menuju tempat
kandang ternak orang-orang Yahudi. Ingatlah, tidaklah halal harta benda
orang-orang mu’ahad kecuali dengan alasan yang hak, dan diharamkan kepada
kalian daging keledai kampung, kuda, dan bagalnya; juga (diharamkan kepada
kalian) setiap hewan pemangsa yang bertaring dan setiap burung yang berkuku
tajam (burung pemangsa).
Seakan-akan
peristiwa ini terjadi sesudah orang-orang Yahudi mau mengadakan perjanjian
perdamaian dengan kaum muslimin dan mereka kepada kaum muslim. Seandainya hadis ini sahih, tentulah ia menjadi
nash yang mengharamkan daging kuda, tetapi hadis ini tidak dapat melawan hadis
sahih yang terdapat di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Jabir ibnu
Abdullah yang mengatakan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، وَأَذِنَ فِيْ لُحُوْمِ
الْخَيْلِ.
Rasulullah Saw. telah melarang (memakan) daging keledai kampung dan
membolehkan daging kuda.
Imam
Ahmad dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya berikut kedua sanad yang ada pada
masing-masing dengan syarat Muslim melalui Jabir yang telah mengatakan:
ذَبَحْنَايَوْمَ خَيْبَرَالْخَيْلَ وَالْبِغَاَل
وَالْحِمَيْرَ، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْبِغَالِ وَالْحِمَيْرِ وَلَمْ يَنْهَنَا عَنِ الْخَيْلِ.
Pada Perang Khaibar kami menyembelih kuda dan bagal serta keledai,
maka Rasulullah Saw. melarang kami (memakan) bagal dan keledai, tetapi tidak
melarang kami (memakan) kuda.
Di
dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui Asma binti Abu Bakar
r.a. yang mengatakan:
نَحَرْنَاعَلَى عَهْدِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًافَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِيْنَةِ.
Di masa Rasulullah Saw. kami pernah menyembelih kuda, lalu kami
memakannya, sedangkan kami berada di Madinah.
Dalil
ini lebih kuat dan lebih teguh, dan hadis inilah yang dijadikan pegangan oleh
Jumhur ulama, antara lain Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad serta semua
murid masing-masing; dan kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf.
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu
Mulaikah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kuda itu pada asal mulanya
adalah hewan liar, lalu Allah menjinakkannya buat Ismail ibnu Ibrahim a.s.
Wabb
ibnu Munabbih menyebutkan di dalam hadis Israiliyatnya, bahwa Allah menciptakan
kuda dari angin selatan.
Nas
hadis menunjukkan boleh mengendarai binatang-binatang ini, antara lain bagal.
Rasulullah Saw. pernah menerima hadiah seekor bagal, lalu dijadikannya sebagai
hewan kendaraannya, padahal beliau sendiri melarang menginseminasikan
(mengawinsilangkan) antara keledai dan kuda, agar keturunan keledai tidak
terputus (punah).
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid, telah
menceritakan kepada kami Umar, dari keluarga Huzaifah, dari Huzaifah, dari
Asy-Sya’bi, dari Dahiyyah Al-Kalabi yang mengatakan bahwa ia pernah berkata
kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, maukah engkau bila aku
mengawinsilangkan keledai dan kuda, maka anaknya nanti (bagal) untukmu buat
kendaraanmu?”.
Rasulullah
Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang melakukan demikian hanyalah orang-orang yang
tidak mengetahui”.
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ
وَمِنۡهَا جَآئِرٞۚ وَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ٩
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).
Setelah
Allah Swt. menyebutkan berbagai hewan dan manfaat serta kegunaannya di jalan
yang bersifat kongkret, maka Allah Swt. mengingatkan kepada jalan agama yang
bersifat abstrak. Di dalam Al-Qur’an sering sekali terjadi peralihan ungkapan
dari hal-hal yang kongkret kepada hal-hal yang maknawi (abstrak), seperti yang
terdapat di dalam firman Allah Swt.:
… وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰ…
…berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…,
(Al-Baqarah:197)
يَٰبَنِيٓ
ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ
وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ.
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik, (Al-A’raf:26)
Setelah
menyebutkan berbagai jenis hewan yang mereka kendarai sehingga dapat
mengantarkan mereka kepada keperluan yang ada di dalam hati mereka, hewan-hewan
itulah yang mengangkut barang-barang berat mereka ke berbagai negeri, tempat
yang jauh, dan perjalanan yang melelahkan. Allah menyebutkan jalan-jalan yang
ditempuh oleh manusia untuk menuju kepada Allah. Maka dijelaskan bahwa hanya
jalan yang hal sajalah yang dapat mengantarkan seseorang kepada Allah. Untuk
itu disebutkan dalam firman-Nya:
وَعَلَى
ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan
hah bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, (An-Nahl:9)
Ayat
ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَأَنَّ
هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِ.
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya, (Al-An’am:153)
هَٰذَا
صِرَٰطٌ عَلَيَّ مُسۡتَقِيمٌ.
Ini adalah jalan
yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya), (Al-Hijr:41)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi
Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Maksudnya,
jalan yang benar ialah jalan menuju kepada Allah. As-Saddi mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi
Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Yakni
agama Islam.
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصۡدُ ٱلسَّبِيلِ.
Dan hak bagi
Allah (menerangkan) jalan yang lurus,
(An-Nahl:9)
Artinya,
Allah-lah yang menjelaskannya, yakni menjelaskan jalan petunjuk dan jalan yang
sesat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas; telah dikatakan pula oleh Qatadah dan Ad-Dahhak.
Tetapi
pendapat Mujahid lebih kuat, sebab lebih serasi dengan konteks kalimat
sebelumnya. Allah Swt. memberitahukan bahwa banyak jalan yang ditempuh untuk
menuju kepada-Nya, tetapi tidak dapat mengantarkan kepada-Nya kecuali hanya
jalan yang hak (benar), yaitu jalan yang disyariatkan dan diridai-nya.
Sedangkan selain dari jalan itu tertutup (buntu) dan semua amal perbuatan yang
dilakukan padanya ditolak. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
وَمِنۡهَا جَآئِرٞ.
Dan di antara
jalan-jalan itu ada yang bengkok,
(An-Nahl:9)
Yakni
menyimpang dari jalan yang benar. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, yang
dimaksud dengan jalan yang bengkok ialah jalan yang ditempuh oleh orang-orang
Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Ibnu
Mas’ud membaca ayat ini dengan bacaan berikut, “Dan di antara kalian ada yang menyimpang
dari jalan yang benar”.
Kemudian
Allah Swt. memberitahukan bahwa hal itu semuanya terjadi karena kekuasaan-Nya
dan atas kehendak-Nya. Maka Allah Swt. berfirman:
وَلَوۡ
شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ.
Dan jikalau dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar), (An-Nahl:9)
Sama seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَلَوۡ
شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًا.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya, (Yunus:99)
وَلَوۡ
شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ
مُخۡتَلِفِينَ ١١٨ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمۡۗ وَتَمَّتۡ
كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ
١١٩
Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat.
kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat
Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya, (Hud:118-119)
5.
Signifikansi
Kandungan
ayat 5-9 surat An Nahl mengandung arti bahwa Allah telah memberikan berbagai
nikmat untuk manusia dari hasil ciptaan-Nya diantaranya diciptakannya hewan
ternak yang mempunyai berbagai manfaat dan fungsi bagi kehidupan manusia[8].
Binatang ternak yang dimaksudkan diatas ditundukan Allah bagi manusia untuk
dimakan, ditunggangi, dan dijadikan perhiasan[9].
Ayat-ayat
Al-Qur’an tersebut merupakan ayat yang berhubungan dengan ekonomi terutama
masalah produksi. Dalam pandangan Islam produksi merupakan hal yang sangat
penting, karena dengan produksi kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Al-Ghazali
menyebutkan bahwa produksi adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam (raw
material) oleh sumber daya manusia, agar menjadi barang yang bermanfaat
bagi manusia[10].
Segala
yang diciptakan Allah untuk manusia merupakan sumber daya yang harus dimanfaatkan
dan dimakmurkan untuk kemaslahatan hidup manusia. Sumber daya tersebut
merupakan sumber ekonomi yang harus dijaga dan dilestarikan. Ismail Nawawi
membagi sumber daya ekonomi menjadi beberapa bidang yaitu: 1) bidang perdagangan,
2) bidang pertanian dan pengolahan tambang, 3) bidang peternakan, 4) bidang
industri dan teknologi, 5) bidang kelautan, 6) bidang perikanan, 7) bidang
pengairan, 8) bidang kesehatan, dan 9) bidang dirgantara[11].
Afzalur
Rahman memandang bahwa sumber daya merupakan faktor-faktor produksi, dimana
faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tanah, tenaga kerja, modal, dan organisasi[12].
Adapun menurut Fauzia dan Riyadi bahwa yang termasuk faktor produksi adalah
tanah, tenaga kerja, modal, manajemen produksi, dan teknologi[13].
Menurut
Afzalur Rahman pengertian tanah mengandung arti yang luas termasuk semua sumber
yang kita peroleh dari udara, laut, gunung, dan sebagainya, sampai dengan
keadaan geografi, angin, dan iklim terkandung dalam tanah. Maka yang termasuk
pada faktor produksi tanah adalah bumi (tanah), mineral, gunung, hutan, hewan,
iklim dan hujan. Keseluruhan sumber daya yang diciptakan tuhan tersebut
semuanya diperuntukkan untuk manusia, oleh karena itu terdapat sebuah premis
dalam ekonomi Islam yaitu “bahwa manusia
dapat mencukupi keseluruhan hidupnya karena Allah telah menciptakan seluruh
alam ini untuk kepentingan manusia”[14].
Tanah
merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting keberadaannya. Landasan
hukum yang digunakan untuk menjadikan tanah sebagai faktor-faktor produksi adalah
bumi (Al-Baqarah:36), mineral (Al-Hadiid:25), gunung (Al-Hijr:19-20,
An-Nazi’at:32-33), hutan (An-Nur:35, Al-Mu’minun:20), hewan (Thahaa:54,
An-Nahl:5-8, Yaasiin:71-73, Al-Mu’min:79-80, Al-Mu’minun:21-22, An-Nahl:66),
iklim dan hujan (An-Nahl:10-11, Al-Waaqi’ah:68-69)[15].
Walaupun
segala sesuatu yang diciptakan Allah diperuntukkan bagi manusia, tetapi manusia
tidak serta merta dengan bebasnya dapat menggunakan atau mengeksploitasinya.
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia harus tunduk pada aturan-aturan yang telah
ditetapkan Allah melalui Al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya, termasuk dalam
produksi. Menurut konsep Islam produksi harus dijalankan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut AM
Saefuddin bahwa manusia sebagai khalifah diberikan tugas untuk memakmurkan bumi
dengan berbagai syarat atau perjanjian diantaranya; manusia haruslah mengadakan
ta’awun (saling menolong), takaful (kerjasama), kewajiban berlaku
sederhana yaitu menghindari bentuk pemborosan atau pengmaburan harta dan
penggunaan yang tidak semestinya dalam mendayagunakan rezeki Allah, selain itu
manusia didalam usaha disyaratkan menumbuhkan dan memperbanyak harta namun
tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dan dilakukan dengan cara yang baik
dan halal[16].
Muhammad
Al-Mubarak menjelaskan prinsip-prinsip produksi yang perlu diperhatikan dalam
produksi antara lain[17]:
1.
Dilarang
memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan
dengan syari’ah (haram).
2.
Dilarang
melakukan kegiatan produksi yang mengarah kezaliman, seperti riba di mana
kezaliman menjadi illat hukum bagi haramnya riba.
3.
Segala bentuk
penimbunan (ikhtikar) terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat, adalah
dilarang sebagai perlindungan syari’ah terhadap konsumen dan masyarakat.
4.
Memelihara
lingkungan.
Sedangkan
menurut Muhammad Hidayat bahwa prinsip produksi dalam ekonomi Islam berkaitan
dengan maqashid al-syari’ah antara lain[18]:
1.
Kegiatan
produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam dan sesuai dengan maqashid al-Syari’ah.
Tidak memproduksi barang/ jasa yang bertentangan dengan penjagaan terhadap
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.
Prioritas
produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan, yaitu dlaruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
3.
Kegiatan
produksi harus memerhatikan aspek keadilan, sosial, zakat, sedekah, infak, dan
wakaf.
4.
Mengelola
sumber daya alam secara optimal, tidak boros, berlebihan, dan merusak
lingkungan.
5.
Distribusi
keuntungan yang adil antara pemilik dan pengelola, manajemen dan buruh.
Tentunya
kegiatan produksi dalam Islam tidak sebebas menurut kapitalisme yang
membebaskan memproduksi apapun asal dibutuhkan manusia. Kebutuhan produksi
dalam Islam tidak hanya didasarkan atas kebutuhan manusia saja melainkan harus
didasarkan atas petunjuk syara’. Jadi produk-produk yang dihasilkan haruslah
barang-barang yang halal menurut syari’ah.
Rasulullah
Saw juga melarang untuk memproduksi barang-barang yang diharamkan oleh syara. Dari
Anas bin Malik ra. ia berkata:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَمْرِ
تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قَالَ: لَا. اَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِىُّ
وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: Rasul Allah SAW pernah ditanya
tentang khomer yang dijadikan cuka. Nabi menjawab: Tidak boleh. Dikeluarkan
oleh Muslim dan Tirmidzi, dia berkata: Hadis Hasan shohih[19].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ حَرَّمَ
الْخَمْرَوَتَمَنَهَاوَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَتَمَنَهَا وَحَرَّمَ
الْخِنْزِيْرَوَتَمَنَهَ.
Dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan khamer dan harganya, bangkai dan harganya, serta babi dan harganya”[20]
.
Dari
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah diatas jelas bahwa khamer, bangkai, dan
babi merupakan barang haram untuk diperjualbelikan, dengan begitu tentunya
memproduksinya juga merupakan haram. Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
mengeluarkan fatwa tentang Hukum Alkohol dalam Minuman pada tahun 1993 yang
mengharamkan masuknya alkohol dalam berbagai minuman[21].
Kembali pada pendapat AM Saefuddin tentang syarat manusia dalam memakmurkan bumi. Selain
memproduksi barang yang bermanfaat dan halal, manusia juga harus mengadakan ta’awun
(saling menolong). Saling tolong menolong disini dapat diartikan dalam hal
kemampuan memproduksi (kepemilikan faktor produksi). Seseorang yang memiliki
kemampuan produksi lebih haruslah menolong orang yang kemampuan produksinya
rendah. Jadi menurut konsep Islam tujuan dari produksi tidak untuk mengejar
keuntungan semata. Dalam hadist disebutkan bahwa kegiatan seperti itu merupakan
sedekah.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا
أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرً، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْبَهِيْمَةٌ،
إِلَّاكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. [رواه
البخاري]
Diriwayatkan dari Anas r.a., Dia berkata: Rasulullah Saw. pernah
bersabda:”Siapapun dari salah seorang muslim menanam pohon atau menabuh benih,
kemudian (tumbuh dan berbuah) lalu buahnya dimakan oleh manusia atau hewan,
maka itu bernilai sebagai sedekah yang diberikannya”, (HR. Bukhari)[22].
Dalam
hadits lain dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم: لَا تَمْنَعُوْا فَضْلَ
الْمَاءِ لَتَمْنَعُوْابِهِ الْكَلأَ. [أخرجه
البخاري]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Ia berkata: Rasulullah Saw.
Pernah bersabda” “Janganlah kalian mencegah (menghalangi) orang mengambil
kelebihan air untuk menyirami rerumputan (tanaman)”, (HR. Muslim)[23].
Syarat lain yang diharuskan Allah
kepada manusia sebagai khalifah adalah manusia harus bertindak sederhana dan
tidak berlebihan. Dalam konteks produksi, proses produksi harus ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia bukan untuk memenuhi keinginan manusia sebagaimana
ekonomi kapitalis yang selalu mengejar pemenuhan keinginan manusia, dampaknya
manusia menjadi hedonis. Maka dari itu produksi harus ditujukan untuk
menghasilkan barang-barang sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dlaruriyat, hajiyat,
dan tahsiniyat. Selain itu produksi juga harus dilakukan seefisien
mungkin sehingga tidak terjadi pemborosan. Perilaku efisien dan tidak boros
tersebut dianjurkan oleh nabi sebagaimana dalam hadits dari Maimunah.
عَنْ مَيْمُوْنَةَ قَالَتْ أُهْدِيَ لِمَوْلَاةٍ
لَنَاشَاةٌ مِنْ الصَّدَقَةِ فَمَانَتْ فَمَرَّ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا دَبَغْتُمْ إِهَابَهَاوَاسْتَنْفَعْتُمْ بِهِ قَالُوْايَا
رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَامَيْتَهٌ قَالَ إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا.
Dari Maimunah, dia berkata: Budak kami diberi
hadiah sedekah berupa seekor kambing, tetapi kambing itu lalu mati pada saat
itu, Rasulullah SAW lewat, kemudian beliau berkata, “Mengapa Kalian tidak
menyamak kulitnya, agar kalian dapat memanfaatkannya? Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, kambing ini telah
mati?”Beliau pun bersabda, “Yang diharamkan (dari bangkai kambing) hanya
memakannya”. {Shahih: Muttafaq ‘Alaih}[24].
C.
KESIMPULAN
Ayat
5-9 surat An-Nahl berbicara tentang nikmat yang diberikan Allah kepada manusia.
Nikmat itu berupa berbagai manfaat dari hewan ternak diantaranya sebagai
makanan, menghasilkan minuman, perhiasan, dan alat trasfortasi. Nikmat itu
harus disyukuri oleh manusia dengan memanfaatkanya sebaik mungkin sesuai dengan
yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ayat tersebut juga mengandung
arti bahwa manusia diberikan kewenangan untuk mengeksploitasi alam semesta ini
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri dengan berbagai syarat
yaitu; manusia haruslah mengadakan ta’awun (saling menolong), takaful
(kerjasama), kewajiban berlaku sederhana yaitu menghindari bentuk pemborosan
atau penghamburan harta dan penggunaan yang tidak semestinya dalam
mendayagunakan rezeki Allah, selain itu manusia didalam usaha disyaratkan
menumbuhkan dan memperbanyak harta namun tidak menimbulkan kerugian bagi pihak
lain, dan dilakukan dengan cara yang baik dan halal.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyq, Ibnu Kasir, Tafsir
Ibnu Kasir Juz 14, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000.
Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti,
Jalaluddin, Tafsir Jalalain Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2004.
Al Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah
Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Shahih Muslim,
Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadis
Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Bin Musa, Abu Yahya Marwan, Tafsir
Hidayatul Insan (Digital), Tanpa tahun.
Departemen Agama Republik Indonesia,
Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Al-Hidayah, 2002.
Effendi, Rustam, Produksi dalam Islam, Yogyakarta: Magistra Insani
Press, 2003.
Fauzia, Ika Yunita dan Riyadi, Abdul
Kadir, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maqashid al-Syari’ah, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Hidayat, Muhammad, The Sharia
Economic, Pengantar Ekonomi Islam, Jakarta: Zikrul Hakim, 2010.
Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahril, Referensi
Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2007.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2015.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Nawawi, Ismail, Ekonomi Islam:
Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press, 2009.
Pradja, Juhaya S, Ekonomi Syariah,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun
Nuzul, Bandung: CV Diponegoro, 1989.
Qutb, Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rahman, Abdur, Ekonomi
Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’ Ulumuddin, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 2010.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi
Islam Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,1995.
Saefuddin, AM., Membumikan
Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011.
Shahih Sunan Abu Dawud [digital],
2008.
[1]
Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1989),
287-294.
[2]
Asy-Syahid Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran,
(Jakarta: Gema Insani, 2008), 159-225.
[3]
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya:
Al-Hidayah, 2002), 403.
[5]
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2004), Jilid 1, 1007-1009.
[6]
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan (Digital), Jilid 2, 323-324
[7]
Ibnu Kasir Ad-Dimasyq, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000), Juz 14, 105-116.
[8]
Ahmad Izzan dan Syahril Tanjung dalam bukunya yang berjudul Referensi
Ekonomi Syariah (Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berdimensi Ekonomi) memberikan
bukti-bukti ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manfaat dan fungsi hewan
ternak yaitu; Al-An’am: 142-144, Az-Zumar:6, Asy-Syura:11, Al-Hajj:28,30,34,
An-Nahl:5,80, Al-Mukminuun:21,79,80, Yaasin:71-73, Al-Mukmin:79, Yunus:24,
As-Sajdah:27, An-Naazi’aat:31-33, Abasa:32, Ali-Imran:14, Al-Maidah:1, Thaa:54,
Az-Zukhruf:12-14, Al-Furqan:49, Asy-Syu’ara:132-133, Muhammad:12.
[9]
Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al Quran, 165
[10]
Abdur Rahman, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam
Ihya’ Ulumuddi, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2010), 102-103.
[11]
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek
Hukum, (Surabaya: ITS Press, 2009), 175-179.
[12]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf,1995), Jilid 1, 225-314.
[13]
Ika Yunita Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam:
Perspektif Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), 119-121.
[14]Juhaya
S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) , 61.
[15]
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 226-241.
[16]
AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2011),
34-35.
[17]
Rustam Effendi, Produksi dalam Islam,
(Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2003), 14-21.
[18]
Muhammad Hidayat, The Sharia Economic, Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2010), 129.
[19]
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), 19.
[20]
Shahih Sunan Abu Dawud [digital], hadits nomor 3485.
[21]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta:
Erlangga, 2015), 723.
[22]
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2002), 494.
[23]
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 537.
[24]
Shahih Sunan Abu Dawud [digital], (2008), hadits nomor 4120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar