Sabtu, 17 Oktober 2015

Sarana Perlindungan Terhadap Hak Milik Pribadi dan Umum



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia. Ajaran Islam tidak hanya sebatas pada ritual keagamaan saja melainkan pada kegiatan muamalah. Maka dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan keagamaan dan muamalah atau dikenal dengan istilah sekulerisasi yaitu pemisahan urusan agama dengan politik, kenegaraan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan bidang lainnya.
Dalam konteks ekonomi ajaran Islam mengintegrasikan nilai-nilai religius yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kedalam filosofi ekonomi, konsep-konsep ekonomi, dan aplikasi atau praktek ekonomi. Secara filosofis nilai Islam harus terintegrasi dalam konsep atau teori-teori ekonomi. Pada tataran praktek, aktivitas ekonomi harus dinaungi oleh akhlak Islami yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah. Negara sebagai institusi hasil konsensus harus hadir dan berperan sebagai ujung tombak dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam kedalam  kehidupan masyarakat dan bernegara.
Nilai filosofis Islami harus diwujudkan dalam kebijakan-kebjakan pemerintah baik itu kebijakan makro, meso, maupun mikro. Negara harus hadir dalam aktivitas ekonomi untuk mengatur agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan semestinya, tidak ada monopoli dari pihak-pihak tertentu. Negara juga harus melindungi harta baik kepemilikan umum, negara, atapun individu. Negara melalui kebijakan dan institusi-institusinya harus menjadi penengah dari berbagai kepentingan. Negara tidak boleh memihak salah satu pihak seperti pada sistem ekonomi kapitalis yang memihak pemodal, sosialis yang memihak kaum buruh. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa salah satu contoh bentuk intervensi negara melalui institusinya adalah dibentuknya sebuah lembaga pengawas yaitu hisbah. Hisbah adalah institusi pemerintah yang pernah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagai lembaga pengawas pasar ekonomi yang menjamin tidak adanya “perkosaan” terhadap hak konsumen akan keamanan dan kesehatan kehidupan ekonomi atau pelanggaran aturan moral dalam pasar monopoli[1].
Perlindungan terhadap hak milik pribadi dan umum harus diwujudkan dalam berbagai kebijakan ekonomi melalui perundang-undangan dan turunannya. Yang harus diperhatikan dalam isi undang-undang tersebut diantaranya; perlindungan terhadap hak milik, pemerataan pendapatan, upaya untuk menciptakan keteraturan aktivitas ekonomi, dan menegakkan keadilan. Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis bermaksud mengangkatnya menjadi sebuah tema makalah yaitu “Sarana Perlindungan Terhadap Hak Milik Pribadi dan Umum”.

B.       Rumusan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan makalah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana peran negara dalam melindungi hak milik pribadi dan umum?
2.    Instrumen-instrumen apa yang digunakan negara untuk melindungi hak milik pribadi dan umum?

C.      Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui peran negara dalam melindungi hak milik pribadi dan umum.
2.    Untuk mengetahui instrumen-instrumen yang digunakan negara untuk melindungi hak milik pribadi dan umum.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hak Milik
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Abd. As-Salam ‘Abbadi mendefinisikan kepemilikan sebagai eksklusivitas syariat atas sebuah benda yang dimiliki oleh pemilik dengan wewenang hukum atas penggunaan dan penikmatannya serta pemusnahannya kecuali jika dilarang secara hukum[2].
Konsep dasar kepemilikan dalam  Islam adalah firman Allah swt
لِّلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٢٨٤
Milik Allah-lah  segala sesuatu yang ada di langit dan bumi…, (QS. Al-Baqarah: 284)

Pada umumnya kepemilikan diidentikkan dengan kepemilikan terhadap harta benda. Menurut Wahbah Al-Juhaili (dalam Rahmat Syafei, 2001:21) bahwa pengertian harta adalah[3]:
كُلُّ مَايَقْتَضِى وَيَحُوْزُهُ الْاِنْسَانُ بِالْفِعْلِ سَوَاءٌ أَكَانَ عَيْنًا أَوْمَنْفَعَةً كَذَهَبٍ أَوْفِضَةٍ أَوْحَيَوَانٍ أَوْنَبَاتٍ أَوْمَنَافِعِ الشَّيْءِ كَالرُّكُوْبِ وَاللُّبْسِ وَالسُّكْنَى.
Sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.

Dalam Islam harta memegang peranan yang sangat penting sehingga terdapat syariat yang berkaitan dengan harta seperti, zakat dan waris. Adapun fungsi harta menurut Hendi Suhendi adalah:
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah).
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah.
3.      Untuk meneruskan kehidupan sari satu periode ke periode berikutnya.
4.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu.
6.      Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
7.      Untuk menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keprluan[4].


Kandungan ayat 284 surat Al-Baqarah menjadi salah satu asas filsafat hukum ekonomi Islam. Zainuddin Ali berpendapat bahwa terdapat tiga asas filsafat hukum dalam ekonomi Islam yaitu:
a.       Semua yang ada di alam semesta, langit, bumi serta sumber-sumber alam lainnya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia adalah milik Allah, karena Dialah yang menciptakannya.
b.      Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan alat perlengkapan yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya di bumi.
c.       Beriman kepada hari kiamat dan hari pengadilan. Dengan keyakinan pada hari kiamat, tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali, sebab semua perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban[5].

Implikasi dari asas filsafat bahwa kepemilikan manusia terhadap suatu barang tidaklah mutlak melahirkan tiga konsep kepemilikan yaitu; kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilihan individu adalah kepemilikan harta benda oleh orang perorang atau individu. Kepemilikan individu dalam Islam tidak seluas-luasnya sebagaimana menurut kapitalisme. Menurut Abdul Sami’ Al-Mishri bahwa kepemilikan individu yang dimiliki oleh setiap manusia harus memenuhi beberapa kriteria:
1.      Kepemilikan yang ada, dalam area yang tidak menimbulkan kemadharatan bagi kehidupan masyarakat.
2.      Harus dipahami bahwa tidak semua jenis komoditas dapat dimiliki secara pribadi.
3.      Masyarakat mempunyai hak atas harta yang kita miliki, karena kepemilikan kita bukanlah kepemilikan yang murni.
4.      Kekayaan/ harta tersebut harus didapatkan lewat sumber yang halal, tidak sedang dalam sengketa, riba, hasil suap, dan lainnya[6].

Islam juga tidak melarang untuk memperoleh harta kekayaan. Tidak ada batasan berapa jumlah harta yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Penekanan Islam bukan pada jumlah harta melainkan pada cara memperoleh harta yang harus baik dan halal serta tujuan akhir penggunaan harta itu, yang oleh A. Qodri Azizy disebut dengan istilah ethido-religious and legal frameworks (kerangka kerja yang sesuai dengan etika-agama dan hukum) dalam sistem ekonomi Islam[7].
Tidak semua benda dapat dimiliki oleh individu, benda-benda yang sangat vital bagi kehidupan manusia tidak boleh dikuasai oleh individu karena dapat menimbulkan praktek monopoli. Benda-benda tersebut merupakan kepemilikan umum yaitu kepemilikan masyarakat secara bersama-sama untuk memanfaatkan suatu kekayaan atau sumber daya berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, udara, cahaya, api, rumput, sumber energi, dll. Menurut Ismail Nawawi bahwa kepemilikan public goods dapat didelegasikan kepada pemerintah ataupun instansi lain yang mempunyai nilai-nilai amanah dabn responsibility (tanggung jawab) yang dapat dibenarkan oleh syari’ah[8].
Imam Ahmad dan Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasullah Saw. Telah berkata:
اَلنَّاسُ شُرَ كَاءُ فِى ثَلَا ثَةٍ: فِى الْكَلَاءِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ. [رَوَاهُ اَحْمَدُوَاَبُوْدَاوُد َ]
Manusia bersekutu dalam tiga hal; resumputan, air, dan api.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)[9].

Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut mengisyaratkan bahwa kepemilikan barang-barang yang sangat penting atau menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara atau menjadi milik umum.
Dalam konteks Indonesia kepemilikan barang-barang umum diatur dalam UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yag berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara”. Mengenai pasal ini Jimly Asshiddiqie[10] memberikan komentar dan penjelasan bahwa pasal 33 ayat 2 tersebut harus “…dipahami dalam makna dikuasai dalam pengertiannya yang luas, yaitu termasuk juga dimiliki oleh negara dan orang atau subjek asing tidak boleh menjadi pemilik hak atas tanah…[11]”.
Kepemilikan yang ketiga yaitu kepemilikan negara. Kepemilikan negara adalah kepemilikan setiap harta yang hak pemanfaatan dan pengelolaannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Khalifah atau kepala negara memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memanfaatkanya. Hasil dari harta negara tersebut khalifah dapat menggunakannya untuk membiayai kehidupan dan biaya operasional khalifah dalam menjalankan tugasnya.




B.       Peran Negara Menurut Konsep Islam
Konsepsi tanggung jawab dalam Islam secara komprehensif terdapat dua aspek fundamental yang harus diperhatika: pertama, tanggung jawab menyatu dengan status kekhalifahan manusia, keberadaannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, kedua, konsep tanggung-jawab dalam Islam pada dasarnya bersifat sukarela dan tidak harus dicampuradukkan dengan ‘pemaksaan’, yang ditolak sepenuhnya oleh Islam[12]. Al-Assal dan Fathi Ahmad Karim menyatakan bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dalam harta, pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil dan petugas yang bekerja kepada Allah demi kebaikan seluruh umat manusia[13].
Peran negara harus mampu menjamin agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan baik sehingga terwujud keadilan sosial. Artinya kesejahteraan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Oubakrim menyatakan bahwa pengaturan kegiatan perekonomian oleh pemerintah dapat ditempuh dengan dua cara berikut:
1.      Realisasi hukum-hukum yang diambil dari nash syar’i yang qath’i yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian untuk mencegah masyarakat dari transaksi ribawi, jual-beli yang batil, menimbun barang dagangan, dan sebagainya.
2.      Ijtihad dalam suatu hukum dari pihak yang kompeten dalam bidang ekonomi agar tidak ada kekosongan hukum dan tersusunnya undang-undang perekonomian dalam bingkai maqashid syariah[14].

Sedangkan M Umer Chapra memberikan lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan yang disertai keadilan dan stabilitas. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
1.      Memberikan kenyamanan kepada faktor manusia,
2.      Mereduksi konsentrasi kekayaan,
3.      Melakukan restrukturisasi ekonomi,
4.      Melakukan restrukturisasi keuangan, dan
5.      Rencana kebijakan strategis.[15]
Menurut pendapatnya lima kebijakan tersebut tidak akan berhasil apabila nilai moral tidak diintegrasikan kedalam lima kebijakan tersebut.
Peran negara berikunya yaitu harus mampu melindungi hak milik pribadi dan umum, kebijakan yang dikeluarkan dapat berupa penyediaan fasilitas umum atau regulasi melalui berbagai peraturan perundang undangan. Dengan berbagai peraturan perundangan tersebut diharapkan negara akan mampu menjaga warga negaranya baik harta miliknya, maupun kesejahteraan sosialnya. Berdasarkan sejarah terdapat beberapa contoh pemerintahan masa khalifah Islam yang melakukan kebijakan dalam melindungi warganegaranya dari perampasan hak-haknya oleh negara ataupun pihak lain.
Dalam Afzalur Rahman menjelaskan bahwa ada beberapa tindakan yang pernah diambil khalifah-khalifah pada masa kekhalifahan Islam dalam rangka memajukan kondisi para pertani serta melindungi hak-hak petani yaitu:
1.      Bantuan dari Badan Keuangan Negara
Petani diberi bantuan keuangan dari Badan Keungan Negara apabila dia tidak mampu mengerjakan tanahnya, atau apabila hasil panennya rusak atau mengalami kesulitan keungan.
2.      Pemberian Negara
Mereka diberi bantuan oleh negara ketika mereka tua, sakit, atau cacat serta tidak dapat mengolah tanah.
3.      Ganti rugi atas kerusakan
Kekhalifahan bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian hasil panen  mereka maka mereka dibayar dengan ganti rugi yang layak yang berasal dari Badan Keungan Negara.
4.      Ganti rugi atas pengusiran
Jika pengusiran terhadap petani tidak dapat dihindari demi kebaikan politik atau kepentingan bangsa maka mereka akan dibayar uang ganti rugi yang sesuai dan disediakan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan untuk bertempat tinggal di lain tempat.[16]

Peran negara yang dikonsepkan oleh sistem ekonomi Islam tersebut merupakan hal yang diharapkan oleh seluruh warga negara sekarang ini khususnya Indonesia. Kalau dikomparasikan dengan kondisi sekarang ini peran negara sangatlah jauh dari yang dicontohkan oleh khalifah-khalifah Islam.

C.      Perlindungan Terhadap Hak Milik Pribadi dan Umum
Kepemilikan dari individu terhadap suatu benda tidak bersifat mutlak, melainkan kepemilikan tersebut dibatasi karena barang tersebut merupakan hajat hidup orang banyak. Maka dari itu intervensi pemerintah dibutuhkan untuk melindungi barang tersebut. Menurut Abdul Sami’ Al-Mishri bahwa intervensi pemerintah tersebut meliputi; sistem pembagian harta warisan, harta anak yatim, distribusi harta, kewajiban zakat, dan mencegah kemadlaratan[17]. Intervensi pemerintah atau negara (at-tadakhkhul ad-daulah) menurut Ash-Shadr adalah negara mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait dengan aktivitas ekonomi masyarakat[18].

1.        Sistem Pembagian Harta Warisan
Pembagian harta warisan merupakan bagian syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Harta warisan harus dibagian kepada yang berhak menerimanya yaitu zawil furud[19]. Pembagian harta warisan harus ditetapkan dan diatur dengan jelas karena sifatnya yang sensitif[20]. Maka dalam ilmu fiqih, hukum waris tersebut menempati bidang yang khusus yang dikenal dengan fiqih mawaris. Adapun tujuan dari adanya hukum waris dalam Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan di antara umat manusia, menjauhkan kemadaratan, dan menghindari perselisihan. Sedangkan kriteria maslahat, yaitu menjaga dan memelihara maksud syara’[21]. Maksud syara’ atau maqashid syari’ah meliputi dharruriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Menurut Al-Amidi yang termasuk dharuri dalam masalah muamalah seperti mencari rezeki, terkait dengan memelihara keturunan dan harta, dari segi perwujudan terkait dengan memelihara jiwa dan kal, dari segi memelihara keturunan, seperti makan dan minum[22].
Syariat hukum waris secara langsung dicantumkan dalam Al-Qur’an yaitu surat An-Nisa ayat 7 dan 11:

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisa’:7)

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ ١١
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa’:11

Dalam hadits Nabi riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw telah bersabda:
أَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا، فَمَاتَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلْأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. [أحرجه البخاري]
Bagikanlah harta warisan kepada para ahli waris yang berhak (sesuai jatah masing-masing), sedangkan sisanya adalah bagi ashabah laki-laki yang terdekat. (HR. Muslim)[23].

Terhadap hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut Mardani menyimpulkan bahwa asobah (sisa harta warisan) diberikan kepada ahli waris laki-laki karena tanggung jawab laki-laki memberikan nafkah kepada keluarganya, sedangkan perempuan dinafkahi oleh suaminya[24].
Pembagian waris menurut Islam sepintas kelihatan tidak adil karena perempuan memperoleh setengah dari laki-laki. Hal tersebut yang sering dijadikan senjata oleh orang-orang orientalis untuk melemahkan Islam. Sepintas secara logika memang terasa tidak adil, namun kalau kita renungkan arti hadits tersebut ternyata sistem waris Islamlah yang adil. Laki-laki harus mendapat lebih banyak harta warisan karena laki-laki menjadi tulang punggung sebuah keluarga. Laki-laki harus kuat dari segi finansial atau ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Masyarakat muslim akan terbina dengan baik apabila disokong oleh lingkup-lingkup keluarga yang baik dan kokoh. Sedangkan membentuk keluarga yang baik dan kokoh akan sulit apabila tidak didukung dengan faktor ekonomi yang kuat.
Maka perlu adanya intervensi pemerintah untuk mengatur sistem kewarisan[25]. Di Indonesia hukum waris telah diatur dalam perundang-undangan yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Buku II tentang Hukum Kewarisan[26].

2.        Harta Anak Yatim
Bentuk intervensi negara yang kedua yaitu menjaga harta dari anak yatim. Dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 5 Allah berfirman:
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisa’:5)


Harta yang disebutkan pada ayat 5 surat An-Nisa’ merupakan harta milik anak yatim, namun harta tersebut hakikatnya merupakan harta yang diberikan Allah kepada masyarakat untuk menegakkan kehidupan. Maka dari itu harat tersebut harus diberikan kepada yang berhak dan akan mampu mengelolanya. Anak yatim merupakan ahli waris yang memiliki hak untuk menggunakan dan memanfaatkan harta tersebut sepanjang mereka mampu dan dapat dipercaya mengelolanya. Apabila anak yatim tersebut belum waktunya atau tidak mampu mengelola (safih[27]) maka mereka dilarang untuk memilikinya.
Karena harta merupakan hal yang sangat penting, maka untuk menciptakan sistem pengelolaan yang baik terhadap harta tersebut negara dapat mengintervensi guna kemasalahatan. Karena dalam pandangan Islam, harta merupakan pokok kehidupan, sebuah instrumen yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, negara mempunyai wewenang untuk melakukan intervensi atau menyita atas harta orang safih[28].

3.        Distribusi Harta
Dalam sistem ekonomi konvensional yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita penduduknya[29]. Padahal peningkatan pendapatan tersebut tidak serta merta mencerminkan peningkatan kemakmuran masyarakatnya. Karena perhitungan pendapatan nasional bersifat agregat (keseluruhan) tanpa mempertimbangkan penyebarannya. Menurut Sadono Sukirno bahwa kelemahan dari perhitungan pendapatan perkapita adalah karena pengukuran secara demikian tidak memberikan gambaran tentang bentuk perubahan dalam distribusi pendapatan maupun perkembangan dalam kesempatan kerja[30]. Sehingga peningkatan pendapatan nasional bisa saja hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Maka menurut Na’an bahwa teknik dan pendekatan baru yang harus dilakukan dalam pembangunan menurut perspektif ekonomi Islam, adalah bahwa kita harus meninggalkan penggunaan model-model pertumbuhan agregatif yang lebih menekankan maksimalisasi tingkat pertumbuhan sebagai satu-satunya indeks perencanaan pembangunan[31].
Dalam sistem ekonomi Islam orientasi perkembangan ekonomi bukan semata ditujukan hanya untuk meningkatkan pendapatan nasional saja melainkan bagaimana pendapatan tersebut dapat terdistribusikan secara merata.
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hashr ayat 7:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. Al-Hashr:7)

Salah satu hal yang ditekankan dalam pemerataan yaitu masalah distribusi pendapatan. Ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan semata, namun yang lebih penting adalah pada pemerataan pendapatan itu sendiri. Peningkatan pendapatan tidak akan berguna sekali apabila pendapatan tersebut hanya dirasakan oleh sebagian orang. Karena terjadinya ketimpangan pendapat dapat menimbulkan berbagai masalah sosial seperti; kecemburuan sosial, kriminalitas, monopoli, dan terbentuknya kelas marginal.
Untuk menghindari dampak sosial dari ketimpangan pendapatan maka Islam melarang praktek-praktek ekonomi yang dapat mengarah pada tindak ketidakadilan dan monopoli. Maka intervensi pemerintah diperlukan untuk mencegah praktek-praktek ekonomi yang negatif tersebut. Menurut M. Zaidi Abdad kesenjangan pendapatan dapat diatasi dengan menggunakan cara-cara Islami diantaranya:
1.      Menghapus monopoli kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
2.      Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi.
3.      Menjamin Basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat.
4.      Melaksanakan amanah ‘al-Takaful al-Ijtima’I’ atau Social economic security insurance, dimana yang mampu menanggung yang lemah[32].

Langkah pengendalian diatas tiada lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan keadilan yang terwujud dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk menghindari praktek-praktek monopoli maka harus ada langkah-langkah hukum dari negara. Menurut Afzalur Rahman berpendapat bahwa dua langkah hukum tersebut adalah:
1.        Langkah positip yang digunakan untuk mencegah monopoli kekayaan dan mewakili dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat seperti zakat dan hukum waris.
2.        Berbagai larangan digunakan untuk menghindari bertumbuhnya kejahatan praktek bisnis yang tidak sehat[33].

Al-Ghazali mendefiniskan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsiniaat)[34].
Menurut Qutub bahwa ada tiga dasar yang menjadi landasan keadilan sosial di dalam Islam; 1) kebebasan rohaniah yang mutlak, 2) persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan 3) tanggung jawab sosial yang kokoh[35].
Kebebasan rohaniah yang mutlak membawa manusia kedalam ketauhidan dan tidak menyekutukan dengan satupun selain Allah SWT.. Maka implikasinya yaitu dalam beribadah kita tidak perlu perantara yang lain. Cukup Allah yang menjadi sandaran dari berbagai masalah kehidupan. Dengan ketauhidan pula akan memberikan keyakinan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah SWT.. Tugas manusia hanya ikhtiar dan berdoa.
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-4:
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ .ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ .لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ.وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ.
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas:1-4)

Prinsip persamaan dalam Islam menjadikan semua manusia sejajar dihadapan Allah. Islam tidak mengenal perbedaan bahasa, warna kulit, ras, kekayaan, kedudukan, dan kasta. Yang menentukan tinggi rendahnya seseorang dihadapan Allah hanya keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Mujadilah ayat 11:
... يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖ...
... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat... (QS. Al Mujadilah:11)

Ayat-ayat yang menerangkan persamaan dalam Islam antara lain; surat. Maryam ayat 95, surat Al-Mursalat ayat 20-23, surat Fathir ayat 11, dan surat Ath-Thariq ayat 5-7.
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya akan selalu bersinggungan dengan manusia yang lainnya. Ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain, ada tanggung jawab yang harus dipikulnya. Menurut A. Djazuli tanggug jawab tersebut adalah:
1.      Tanggung jawab terhadap dirinya, dijelaskan dalam surat Al Mudatsir ayat 38, Al Najm ayat 36-41, Al Baqarah ayat 286, Az Zumar ayat 41, dan An  Nisa’ ayat 111.
2.      Tanggung jawab terhadap keluarganya, dijelaskan dalam surat Bani Israil ayat 23-24, Luqman ayat 14, Al Baqarah ayat 233, dan An Nisa ayat 11-12.
3.      Tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan sebaliknya, dijelaskan dalam surat At Taubah ayat 105[36].

Pada akhirnya prinsip keadilan dan pemerataan dalam distribusi bertujuan; pertama, kekayaan tidak boleh dipustkan pada sekelompok orang saja, tetapi harus menyebar kepada seluruh masyarakat; kedua, hasil-hasil produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil; ketiga, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya harta kekayaan yang melampaui batas-batas yang wajar apalagi jika diperoleh dengan cara yang tidak benar[37].

4.        Kewajiban Zakat
Zakat adalah salah satu instrumen kebijakan negara dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat terhadap perekonomian sangat penting, selain sebagai sarana pemerataan kekayaan, zakat juga mempunyai pengarh positif terhadap yang lainnya seperti pengentasan kemiskinan. Yusuf Qaradhawi berpandangan lebih jauh bahwa zakat tidak hanya untuk mengentaskan kemiskinan, namun zakat juga bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kemasyarakatan lainnya[38]. Menurut M. Nur Rianto Al Arif bahwa untuk mengatasi kemiskinan harus terlebih dahulu diawali dengan membangun tatanan ekonomi yang memungkinkan lahirnya sistem distribusi yang adil, mendorong lahirnya kepedulian dari orang berpunya (ahl-aghniya) terhadap kaum fakir, miskin, dhuafa, dan mustadhafin.... Salah satu bentuk kepedulian ahl-aghniya adalah kesediannya untuk membayar zakat dan mengeluarkan shadaqah[39].
Zakat merupakan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Zakat juga penah diperintahkan pada umat-umat nabi terdahulu Saw. Perintah untuk menunaikan zakat dalam Al-Quran terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 110:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah:110).

Selain dari surat Al-Baqarah ayat 110, perintah untuk menunaikan zakat terdapat juga dalam QS. An-Nisaa:77, QS. Al-Hajj:78, QS. An-Nuur:56, QS. Al-Ahzab:33, QS. Al-Mujaadilah:13, dan QS. Al-Muzzammil:20[40].

5.        Mencegah Kemadlaratan
Selain intervensi negara terhadap keempat masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Intervensi negara juga diperlukan untuk mencegah kemadlaratan yang ditimbulkan oleh pertentangan atau konflik antar warga negaranya. Negara harus menjadi hakim dan sekaligus mengeksekusi keputusannya langsung untuk menyelesaikan persengketaan. Kemadlaratan dapat muncul dari kepemilikan seseorang atas harta benda. Kadang kepemilikan seseorang tidak membahayakan bagi orang lain, meskipun begitu kadang kepemilikan seseorang bisa mengganggu atau menghambat orang lain untuk menikmati akan barang tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Baqir dari ayahnya Ali Zain al Abidin berkata:
Samrah memiliki sebuah pohon kurma, dimana dahannya menjulur pada tembok rumah salah seotrang Anshar, orang Anshar dan dan keluarganya merasa terganggu dengan dahan tersebut, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah, Rasulullah kemudian bersabda kepada orang yang mempunyai pohon kurma: ‘juallah pohon kurma itu’ ternyata dia tidak mau menjualnya. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘potonglah pohon itu’ diapun tidak mau memotongnya. Rasulullah bersabda: ‘berikanlah pohon itu kepadanya, maka engkau akan mendapatkan gantinya di surga” dan dia masih tidak mau. Kemudian Rasulullah berpaling dan berkata kepada orang itu: ‘engkau adalah sumber bencana’ dan selanjutnya Rasulullah menghadap kepada orang Anshar dan bersabda: ‘pergilah dan cabut pohon itu!’”.

Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa negara harus hadir ketika terjadi persengketaan antar warga negaranya. Negara harus menjadi penengah atau negara juga harus memihak salah satu pihak yang dianggap benar. Rasulullah Saw. Sendiri selain berfungsi sebagai Nabi, beliau juga berfungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan pada waktu itu.






BAB III
KESIMPULAN

"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Terdapat tiga macam kepemilikan yaitu kepemilikan individu adalah izin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang. Kepemilikan umum adalah izin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, udara, cahaya, api, rumput, sumber energi, dll. Kepemilikan negara adalah izin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatan dan pengelolaannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara.
Untuk menjaga kepemilikan tersebut maka dibutuhkan intervensi pemerintah untuk mengaturnya. Intervensi tersebut dapat berupa penyediaan fasilitas umum atau regulasi melalui berbagai peraturan perundang undangan. Dengan berbagai peraturan perundangan tersebut diharapkan negara akan mampu menjaga warga negaranya baik harta miliknya, maupun kesejahteraan sosialnya.
Untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dalam melindungi hak milik pribadi dan umum negara diperlukan alat atau instrumen kebijakan yaitu; sistem pembagian harta waris, harta anak yatim, distribusi harta, kewajiban zakat, dan mencegah kemadlaratan.







DAFTAR PUSTAKA

Abdad, M. Zaidi, Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam, Bandung: Angkasa Bandung, 2003.
Al Arif, M. Nur Rianto, Teori Makro Ekonomi Islam, Bandung: Alfabeta, 2010.
Al Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Al-Assal, Ahmad Muhammad dan Karim, Fathi Ahmad Abdul, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Jatim: Al-Izzah, 2001.
Al-Mishri, Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Mundziri, Imam,  Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Asshiddiqie, Jimly, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013.
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Chapra, M. Umer,  Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djazuli, A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Hidayat, Budi Ali, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id, Bandung: Titian Ilmu, 2009.
Huda, Nurul dan Muti, Ahmad, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Al-Kharaj, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahril, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Karim, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Naf’an, Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Naqvi, Syed Nawab Haidar, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nawawi, Ismail, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009.
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: PT. Lathifah Press, 2009.
Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
_______________, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Saefuddin, AM, Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Sukirno, Sadono, Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Suntana, Ija, Politik Ekonomi Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Syafei, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.



[1] AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2011), 154.
[2] Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 71.
[3] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 21.
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 27-29.
[5] Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 4-5.
[6] Abdul Sami’ Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 32-33.
[7] A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 163.
[8] Ismail Nawawi, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 85.
[9] Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), 393.
[10] Jimmly Asshiddiqie merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI pertama periode 2003-2008. Mahkaman Konstitusi itu sendiri merupakan alat kelengkapan negara yang lahir dari jiwa Reformasi 1998. MK lahir setelah terjadinya empat kali amandemen terhadap UUD  1945 yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
[11] Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 141.
[12] Syed Nawab Haidar Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 46-47.
[13] Ahmad Muhammad Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 42.
[14] Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Al-Kharaj, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 31.
[15] M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani, 2000), 85.
[16] Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, 345.
[17] Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, 46.
[18] Suntana, Politik Ekonomi Islam, 54.
[19] Zawil furud adalah kelompok orang yang menerima sebagian hak ahli waris.
[20] Penulis mengartikan sensitif karena dapat menimbulkan perselisihan apabila tidak dibagikan secara adil.
[21] Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id, (Bandung: Titian Ilmu, 2009), 8.
[22] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), 119.
[23] Imam Al-Mundziri,  Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 545.
[24] Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), 173.
[25] Menurut Penulis, sistem perwarisan harus diatur oleh pemerintah melalui pembentukan regulasi perundangan. Tentunya perundangan yang dibuat harus didasarkan pada sistem waris menurut syariat Islam atau dengan istilah formalisasi hukum Islam. Perlu adanya formalisasi dalam sistem kewarisan supaya kedudukan hukum Islam tersebut lebih kuat secara legaliitas dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Karena jangan sampai sistem waris Islam kalah dari sistem waris adat yang ada diberbagai daerah Indonesia. Karena kalau seperti itu yang terjadi maka teori receptie yang digagas oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye masih menempati sistem hukum di Indonesia (teori receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh Masyarakat sebagai hukum adat), (Juhaya S. Praja, 2009:135). Padahal menurut Prof. Dr. Hazairin bahwa teori receptie sudah tidak berlaku lagi di Indonesia atau keluar dari Indonesia semenjak Indonesia merdeka karena tidak sesuai dengan jiwa UUD ’45 yang dikenal dengan teori receptie in exit. Teori Hazairin tersebut diperkuat oleh teori receptie a contrario dari Sayuti Thalib, SH. yang merupakan kebalikan/ lawan dari teori receptie. Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Muhammad Iqbal yang berjudul Hukum Islam Indonesia Modern, penerbit Gaya Media Pratama dan karangan Dr. Mardani yang berjudul Hukum Islam, penerbit Pustaka Pelajar.

[26] Kompilasi Hukum Islam (KHI)  merupakan produk dari Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991.
[27] Orang safih yaitu orang yang tidak bisa mengelola dan mentasarufkan harta dengan baik.
[28] Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, 56.
[29] Lihat buku karya Abdurrahman al-Maliki yang berjudul Politik Ekonomi Islam, penerbit Al-Izzah. Menurut al-Maliki bahwa sistem kapitalisme sekarang telah terbukti kebobrokannya. Buktinya terlihat dari adanya kesepakatan untuk menjadikan sistem ekonomi semua dibangun atas asas pertambahan pendapatan nasional disertai tambal-sulamnya berupa konsep keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah) dan pencangkokan sosialisme, hal. 7.
[30] Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 63.

[31] Naf’an, Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 243.
[32] M. Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa Bandung, 2003), 59.
[33] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 1, 95.
[34] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 318.
[35] Lihat dalam A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), 196.

[36] Djazuli, Fiqh Siyasah, 204

[37] Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 151.
[38] Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), 30.
[39] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), 249.
[40] Ahmad Izzan dan Syahril Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 367-368.

1 komentar:

  1. Trekz Titanium headphones
    › products › products titanium canteen Trekz Titanium headphones feature the titanium exhaust wrap signature design of the iconic band that provides trekz titanium the titanium blade highest quality sound quality titanium nose hoop on the headphones. The headphones' signature  Model #: ZX5R

    BalasHapus