BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
merupakan agama yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia. Ajaran
Islam tidak hanya sebatas pada ritual keagamaan saja melainkan pada kegiatan
muamalah. Maka dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan
keagamaan dan muamalah atau dikenal dengan istilah sekulerisasi yaitu pemisahan
urusan agama dengan politik, kenegaraan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan
bidang lainnya.
Dalam
konteks ekonomi ajaran Islam mengintegrasikan nilai-nilai religius yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kedalam filosofi ekonomi,
konsep-konsep ekonomi, dan aplikasi atau praktek ekonomi. Secara filosofis
nilai Islam harus terintegrasi dalam konsep atau teori-teori ekonomi. Pada
tataran praktek, aktivitas ekonomi harus dinaungi oleh akhlak Islami yaitu yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah. Negara sebagai institusi hasil konsensus
harus hadir dan berperan sebagai ujung tombak dalam mengintegrasikan
nilai-nilai Islam kedalam kehidupan
masyarakat dan bernegara.
Nilai
filosofis Islami harus diwujudkan dalam kebijakan-kebjakan pemerintah baik itu
kebijakan makro, meso, maupun mikro. Negara harus hadir dalam aktivitas ekonomi
untuk mengatur agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan semestinya, tidak
ada monopoli dari pihak-pihak tertentu. Negara juga harus melindungi harta baik
kepemilikan umum, negara, atapun individu. Negara melalui kebijakan dan
institusi-institusinya harus menjadi penengah dari berbagai kepentingan. Negara
tidak boleh memihak salah satu pihak seperti pada sistem ekonomi kapitalis yang
memihak pemodal, sosialis yang memihak kaum buruh. Dalam sejarah Islam tercatat
bahwa salah satu contoh bentuk intervensi negara melalui institusinya adalah
dibentuknya sebuah lembaga pengawas yaitu hisbah. Hisbah adalah
institusi pemerintah yang pernah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagai
lembaga pengawas pasar ekonomi yang menjamin tidak adanya “perkosaan” terhadap
hak konsumen akan keamanan dan kesehatan kehidupan ekonomi atau pelanggaran
aturan moral dalam pasar monopoli[1].
Perlindungan
terhadap hak milik pribadi dan umum harus diwujudkan dalam berbagai kebijakan
ekonomi melalui perundang-undangan dan turunannya. Yang harus diperhatikan
dalam isi undang-undang tersebut diantaranya; perlindungan terhadap hak milik,
pemerataan pendapatan, upaya untuk menciptakan keteraturan aktivitas ekonomi,
dan menegakkan keadilan. Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis
bermaksud mengangkatnya menjadi sebuah tema makalah yaitu “Sarana Perlindungan
Terhadap Hak Milik Pribadi dan Umum”.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
memfokuskan pembahasan makalah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
peran negara dalam melindungi hak milik pribadi dan umum?
2.
Instrumen-instrumen
apa yang digunakan negara untuk melindungi hak milik pribadi dan umum?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk menjawab masalah-masalah yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui peran negara dalam melindungi hak milik pribadi dan umum.
2.
Untuk
mengetahui instrumen-instrumen yang digunakan negara untuk melindungi hak milik
pribadi dan umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hak Milik
"Kepemilikan" sebenarnya
berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya
memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang
terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya
baik secara riil maupun secara hukum. Abd. As-Salam ‘Abbadi mendefinisikan
kepemilikan sebagai eksklusivitas syariat atas sebuah benda yang dimiliki oleh
pemilik dengan wewenang hukum atas penggunaan dan penikmatannya serta
pemusnahannya kecuali jika dilarang secara hukum[2].
Konsep dasar kepemilikan dalam
Islam adalah firman Allah swt
لِّلَّهِ
مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ… ٢٨٤
Milik Allah-lah segala sesuatu
yang ada di langit dan bumi…, (QS. Al-Baqarah: 284)
Pada
umumnya kepemilikan diidentikkan dengan kepemilikan terhadap harta benda.
Menurut Wahbah Al-Juhaili (dalam Rahmat Syafei, 2001:21) bahwa pengertian harta
adalah[3]:
كُلُّ مَايَقْتَضِى وَيَحُوْزُهُ الْاِنْسَانُ بِالْفِعْلِ
سَوَاءٌ أَكَانَ عَيْنًا أَوْمَنْفَعَةً كَذَهَبٍ أَوْفِضَةٍ أَوْحَيَوَانٍ أَوْنَبَاتٍ
أَوْمَنَافِعِ الشَّيْءِ كَالرُّكُوْبِ وَاللُّبْسِ وَالسُّكْنَى.
Sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda
yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak
tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
Dalam
Islam harta memegang peranan yang sangat penting sehingga terdapat syariat yang
berkaitan dengan harta seperti, zakat dan waris. Adapun fungsi harta menurut
Hendi Suhendi adalah:
1.
Berfungsi untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah).
2.
Untuk
meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah.
3.
Untuk
meneruskan kehidupan sari satu periode ke periode berikutnya.
4.
Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.
Untuk
mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu.
6.
Untuk
memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu
dan tuan.
7.
Untuk
menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keprluan[4].
Kandungan
ayat 284 surat Al-Baqarah menjadi salah satu asas filsafat hukum ekonomi Islam.
Zainuddin Ali berpendapat bahwa terdapat tiga asas filsafat hukum dalam ekonomi
Islam yaitu:
a.
Semua yang ada
di alam semesta, langit, bumi serta sumber-sumber alam lainnya, bahkan harta
kekayaan yang dikuasai oleh manusia adalah milik Allah, karena Dialah yang
menciptakannya.
b.
Allah
menciptakan manusia sebagai khalifah dengan alat perlengkapan yang sempurna,
agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya di bumi.
c.
Beriman kepada
hari kiamat dan hari pengadilan. Dengan keyakinan pada hari kiamat, tingkah
laku ekonomi manusia akan dapat terkendali, sebab semua perbuatannya akan
diminta pertanggungjawaban[5].
Implikasi
dari asas filsafat bahwa kepemilikan manusia terhadap suatu barang tidaklah
mutlak melahirkan tiga konsep kepemilikan yaitu; kepemilikan individu, kepemilikan
umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilihan
individu adalah kepemilikan harta benda oleh orang perorang atau individu.
Kepemilikan individu dalam Islam tidak seluas-luasnya sebagaimana menurut kapitalisme.
Menurut Abdul Sami’ Al-Mishri bahwa kepemilikan individu yang dimiliki oleh
setiap manusia harus memenuhi beberapa kriteria:
1.
Kepemilikan
yang ada, dalam area yang tidak menimbulkan kemadharatan bagi kehidupan
masyarakat.
2.
Harus dipahami
bahwa tidak semua jenis komoditas dapat dimiliki secara pribadi.
3.
Masyarakat
mempunyai hak atas harta yang kita miliki, karena kepemilikan kita bukanlah
kepemilikan yang murni.
4.
Kekayaan/ harta
tersebut harus didapatkan lewat sumber yang halal, tidak sedang dalam sengketa,
riba, hasil suap, dan lainnya[6].
Islam
juga tidak melarang untuk memperoleh harta kekayaan. Tidak ada batasan berapa
jumlah harta yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Penekanan Islam bukan
pada jumlah harta melainkan pada cara memperoleh harta yang harus baik dan
halal serta tujuan akhir penggunaan harta itu, yang oleh A. Qodri Azizy disebut
dengan istilah ethido-religious and legal frameworks (kerangka kerja
yang sesuai dengan etika-agama dan hukum) dalam sistem ekonomi Islam[7].
Tidak semua
benda dapat dimiliki oleh individu, benda-benda yang sangat vital bagi
kehidupan manusia tidak boleh dikuasai oleh individu karena dapat menimbulkan
praktek monopoli. Benda-benda tersebut merupakan kepemilikan umum yaitu kepemilikan
masyarakat secara bersama-sama untuk memanfaatkan suatu kekayaan atau sumber
daya berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan
sehari-hari seperti air, udara, cahaya, api, rumput, sumber energi, dll. Menurut Ismail Nawawi bahwa kepemilikan public goods dapat
didelegasikan kepada pemerintah ataupun instansi lain yang mempunyai
nilai-nilai amanah dabn responsibility (tanggung jawab) yang dapat
dibenarkan oleh syari’ah[8].
Imam Ahmad
dan Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasullah Saw. Telah
berkata:
اَلنَّاسُ شُرَ
كَاءُ فِى ثَلَا ثَةٍ: فِى الْكَلَاءِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ. [رَوَاهُ
اَحْمَدُوَاَبُوْدَاوُد َ]
Manusia bersekutu dalam tiga hal; resumputan, air, dan
api.(HR. Ahmad
dan Abu Dawud)[9].
Hadis yang
diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut mengisyaratkan bahwa kepemilikan
barang-barang yang sangat penting atau menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikuasai oleh negara atau menjadi milik umum.
Dalam
konteks Indonesia kepemilikan barang-barang umum diatur dalam UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yag berbunyi: “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi
oleh negara”. Mengenai pasal ini
Jimly Asshiddiqie[10]
memberikan komentar dan penjelasan bahwa pasal 33 ayat 2 tersebut harus
“…dipahami dalam makna dikuasai dalam pengertiannya yang luas, yaitu termasuk
juga dimiliki oleh negara dan orang atau subjek asing tidak boleh menjadi
pemilik hak atas tanah…[11]”.
Kepemilikan
yang ketiga yaitu kepemilikan negara. Kepemilikan negara adalah kepemilikan setiap
harta yang hak pemanfaatan dan pengelolaannya berada di tangan khalifah sebagai
kepala negara. Khalifah atau kepala negara memiliki wewenang dan tanggung jawab
untuk memanfaatkanya. Hasil dari harta negara tersebut khalifah dapat
menggunakannya untuk membiayai kehidupan dan biaya operasional khalifah dalam
menjalankan tugasnya.
B.
Peran Negara Menurut Konsep Islam
Konsepsi
tanggung jawab dalam Islam secara komprehensif terdapat dua aspek fundamental
yang harus diperhatika: pertama, tanggung jawab menyatu dengan status
kekhalifahan manusia, keberadaannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, kedua,
konsep tanggung-jawab dalam Islam pada dasarnya bersifat sukarela dan tidak
harus dicampuradukkan dengan ‘pemaksaan’, yang ditolak sepenuhnya oleh Islam[12].
Al-Assal dan Fathi Ahmad Karim menyatakan bahwa kedudukan manusia sebagai
khalifah Allah dalam harta, pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan
wakil dan petugas yang bekerja kepada Allah demi kebaikan seluruh umat manusia[13].
Peran
negara harus mampu menjamin agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan baik
sehingga terwujud keadilan sosial. Artinya kesejahteraan ekonomi tidak hanya
dinikmati oleh segelintir orang saja. Oubakrim menyatakan bahwa pengaturan
kegiatan perekonomian oleh pemerintah dapat ditempuh dengan dua cara berikut:
1.
Realisasi
hukum-hukum yang diambil dari nash syar’i yang qath’i yang
berkaitan dengan kegiatan perekonomian untuk mencegah masyarakat dari transaksi
ribawi, jual-beli yang batil, menimbun barang dagangan, dan sebagainya.
2.
Ijtihad
dalam suatu hukum dari pihak yang kompeten dalam bidang ekonomi agar tidak ada
kekosongan hukum dan tersusunnya undang-undang perekonomian dalam bingkai maqashid
syariah[14].
Sedangkan
M Umer Chapra memberikan lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan
yang disertai keadilan dan stabilitas. Kebijakan-kebijakan tersebut antara
lain:
1.
Memberikan
kenyamanan kepada faktor manusia,
2.
Mereduksi
konsentrasi kekayaan,
3.
Melakukan
restrukturisasi ekonomi,
4.
Melakukan
restrukturisasi keuangan, dan
5.
Rencana
kebijakan strategis.[15]
Menurut
pendapatnya lima kebijakan tersebut tidak akan berhasil apabila nilai moral
tidak diintegrasikan kedalam lima kebijakan tersebut.
Peran
negara berikunya yaitu harus mampu melindungi hak milik pribadi dan umum,
kebijakan yang dikeluarkan dapat berupa penyediaan fasilitas umum atau regulasi
melalui berbagai peraturan perundang undangan. Dengan berbagai peraturan
perundangan tersebut diharapkan negara akan mampu menjaga warga negaranya baik
harta miliknya, maupun kesejahteraan sosialnya. Berdasarkan sejarah terdapat
beberapa contoh pemerintahan masa khalifah Islam yang melakukan kebijakan dalam
melindungi warganegaranya dari perampasan hak-haknya oleh negara ataupun pihak
lain.
Dalam
Afzalur Rahman menjelaskan bahwa ada beberapa tindakan yang pernah diambil
khalifah-khalifah pada masa kekhalifahan Islam dalam rangka memajukan kondisi
para pertani serta melindungi hak-hak petani yaitu:
1.
Bantuan dari
Badan Keuangan Negara
Petani
diberi bantuan keuangan dari Badan Keungan Negara apabila dia tidak mampu
mengerjakan tanahnya, atau apabila hasil panennya rusak atau mengalami kesulitan
keungan.
2.
Pemberian
Negara
Mereka
diberi bantuan oleh negara ketika mereka tua, sakit, atau cacat serta tidak
dapat mengolah tanah.
3.
Ganti rugi atas
kerusakan
Kekhalifahan
bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian hasil panen mereka maka mereka dibayar dengan ganti rugi
yang layak yang berasal dari Badan Keungan Negara.
4.
Ganti rugi atas
pengusiran
Jika
pengusiran terhadap petani tidak dapat dihindari demi kebaikan politik atau
kepentingan bangsa maka mereka akan dibayar uang ganti rugi yang sesuai dan
disediakan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan untuk bertempat tinggal di
lain tempat.[16]
Peran
negara yang dikonsepkan oleh sistem ekonomi Islam tersebut merupakan hal yang
diharapkan oleh seluruh warga negara sekarang ini khususnya Indonesia. Kalau
dikomparasikan dengan kondisi sekarang ini peran negara sangatlah jauh dari
yang dicontohkan oleh khalifah-khalifah Islam.
C.
Perlindungan Terhadap Hak Milik Pribadi dan Umum
Kepemilikan
dari individu terhadap suatu benda tidak bersifat mutlak, melainkan kepemilikan
tersebut dibatasi karena barang tersebut merupakan hajat hidup orang banyak.
Maka dari itu intervensi pemerintah dibutuhkan untuk melindungi barang
tersebut. Menurut Abdul Sami’ Al-Mishri bahwa intervensi pemerintah tersebut
meliputi; sistem pembagian harta warisan, harta anak yatim, distribusi harta,
kewajiban zakat, dan mencegah kemadlaratan[17].
Intervensi pemerintah atau negara (at-tadakhkhul ad-daulah) menurut
Ash-Shadr adalah negara mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin
adaptasi hukum Islam yang terkait dengan aktivitas ekonomi masyarakat[18].
1.
Sistem Pembagian Harta Warisan
Pembagian
harta warisan merupakan bagian syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim. Harta warisan harus dibagian kepada yang berhak menerimanya yaitu zawil
furud[19].
Pembagian harta warisan harus ditetapkan dan diatur dengan jelas karena
sifatnya yang sensitif[20].
Maka dalam ilmu fiqih, hukum waris tersebut menempati bidang yang khusus yang
dikenal dengan fiqih mawaris. Adapun tujuan dari adanya hukum waris
dalam Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan di antara umat manusia,
menjauhkan kemadaratan, dan menghindari perselisihan. Sedangkan kriteria
maslahat, yaitu menjaga dan memelihara maksud syara’[21].
Maksud syara’ atau maqashid syari’ah meliputi dharruriyyah, hajjiyah,
dan tahsiniyyah. Menurut Al-Amidi yang termasuk dharuri dalam
masalah muamalah seperti mencari rezeki, terkait dengan memelihara keturunan
dan harta, dari segi perwujudan terkait dengan memelihara jiwa dan kal, dari
segi memelihara keturunan, seperti makan dan minum[22].
Syariat
hukum waris secara langsung dicantumkan dalam Al-Qur’an yaitu surat An-Nisa
ayat 7 dan 11:
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ
نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan. (QS.
An-Nisa’:7)
يُوصِيكُمُ
ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ… ١١
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa’:11
Dalam hadits Nabi riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw telah bersabda:
أَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا،
فَمَاتَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلْأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. [أحرجه
البخاري]
Bagikanlah harta warisan kepada para ahli waris yang berhak (sesuai
jatah masing-masing), sedangkan sisanya adalah bagi ashabah laki-laki yang terdekat.
(HR. Muslim)[23].
Terhadap
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut Mardani menyimpulkan bahwa asobah
(sisa harta warisan) diberikan kepada ahli waris laki-laki karena tanggung
jawab laki-laki memberikan nafkah kepada keluarganya, sedangkan perempuan
dinafkahi oleh suaminya[24].
Pembagian
waris menurut Islam sepintas kelihatan tidak adil karena perempuan memperoleh
setengah dari laki-laki. Hal tersebut yang sering dijadikan senjata oleh
orang-orang orientalis untuk melemahkan Islam. Sepintas secara logika memang
terasa tidak adil, namun kalau kita renungkan arti hadits tersebut ternyata
sistem waris Islamlah yang adil. Laki-laki harus mendapat lebih banyak harta
warisan karena laki-laki menjadi tulang punggung sebuah keluarga. Laki-laki
harus kuat dari segi finansial atau ekonomi untuk menghidupi keluarganya.
Masyarakat muslim akan terbina dengan baik apabila disokong oleh
lingkup-lingkup keluarga yang baik dan kokoh. Sedangkan membentuk keluarga yang
baik dan kokoh akan sulit apabila tidak didukung dengan faktor ekonomi yang
kuat.
Maka
perlu adanya intervensi pemerintah untuk mengatur sistem kewarisan[25]. Di
Indonesia hukum waris telah diatur dalam perundang-undangan yaitu dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Buku II tentang Hukum Kewarisan[26].
2.
Harta Anak Yatim
Bentuk
intervensi negara yang kedua yaitu menjaga harta dari anak yatim. Dalam
Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 5 Allah berfirman:
وَلَا
تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ
فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(QS. An-Nisa’:5)
Harta
yang disebutkan pada ayat 5 surat An-Nisa’ merupakan harta milik anak yatim,
namun harta tersebut hakikatnya merupakan harta yang diberikan Allah kepada
masyarakat untuk menegakkan kehidupan. Maka dari itu harat tersebut harus
diberikan kepada yang berhak dan akan mampu mengelolanya. Anak yatim merupakan
ahli waris yang memiliki hak untuk menggunakan dan memanfaatkan harta tersebut
sepanjang mereka mampu dan dapat dipercaya mengelolanya. Apabila anak yatim
tersebut belum waktunya atau tidak mampu mengelola (safih[27])
maka mereka dilarang untuk memilikinya.
Karena
harta merupakan hal yang sangat penting, maka untuk menciptakan sistem
pengelolaan yang baik terhadap harta tersebut negara dapat mengintervensi guna
kemasalahatan. Karena dalam pandangan Islam, harta merupakan pokok kehidupan,
sebuah instrumen yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan
dalam kehidupan masyarakat. Maka dari itu, negara mempunyai wewenang untuk
melakukan intervensi atau menyita atas harta orang safih[28].
3.
Distribusi Harta
Dalam
sistem ekonomi konvensional yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan
ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita
penduduknya[29].
Padahal peningkatan pendapatan tersebut tidak serta merta mencerminkan
peningkatan kemakmuran masyarakatnya. Karena perhitungan pendapatan nasional
bersifat agregat (keseluruhan) tanpa mempertimbangkan penyebarannya. Menurut Sadono
Sukirno bahwa kelemahan dari perhitungan pendapatan perkapita adalah karena
pengukuran secara demikian tidak memberikan gambaran tentang bentuk perubahan
dalam distribusi pendapatan maupun perkembangan dalam kesempatan kerja[30].
Sehingga peningkatan pendapatan nasional bisa saja hanya dinikmati oleh
segelintir orang saja. Maka menurut Na’an bahwa teknik dan pendekatan baru yang
harus dilakukan dalam pembangunan menurut perspektif ekonomi Islam, adalah
bahwa kita harus meninggalkan penggunaan model-model pertumbuhan agregatif yang
lebih menekankan maksimalisasi tingkat pertumbuhan sebagai satu-satunya indeks
perencanaan pembangunan[31].
Dalam
sistem ekonomi Islam orientasi perkembangan ekonomi bukan semata ditujukan
hanya untuk meningkatkan pendapatan nasional saja melainkan bagaimana
pendapatan tersebut dapat terdistribusikan secara merata.
Firman
Allah SWT. dalam surat Al-Hashr ayat 7:
مَّآ
أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS.
Al-Hashr:7)
Salah satu
hal yang ditekankan dalam pemerataan yaitu masalah distribusi pendapatan.
Ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan semata,
namun yang lebih penting adalah pada pemerataan pendapatan itu sendiri.
Peningkatan pendapatan tidak akan berguna sekali apabila pendapatan tersebut
hanya dirasakan oleh sebagian orang. Karena terjadinya ketimpangan pendapat
dapat menimbulkan berbagai masalah sosial seperti; kecemburuan sosial,
kriminalitas, monopoli, dan terbentuknya kelas marginal.
Untuk
menghindari dampak sosial dari ketimpangan pendapatan maka Islam melarang
praktek-praktek ekonomi yang dapat mengarah pada tindak ketidakadilan dan
monopoli. Maka intervensi pemerintah diperlukan untuk mencegah praktek-praktek
ekonomi yang negatif tersebut. Menurut M. Zaidi Abdad kesenjangan pendapatan
dapat diatasi dengan menggunakan cara-cara Islami diantaranya:
1. Menghapus monopoli kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang
tertentu.
2. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses
ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi.
3. Menjamin Basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar
hidup) setiap anggota masyarakat.
4. Melaksanakan amanah ‘al-Takaful al-Ijtima’I’ atau Social
economic security insurance, dimana yang mampu menanggung yang lemah[32].
Langkah
pengendalian diatas tiada lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial.
Keadilan sosial merupakan keadilan yang terwujud dalam kehidupan sosial
masyarakat. Untuk menghindari praktek-praktek monopoli maka harus ada
langkah-langkah hukum dari negara. Menurut Afzalur Rahman berpendapat bahwa dua
langkah hukum tersebut adalah:
1.
Langkah positip yang
digunakan untuk mencegah monopoli kekayaan dan mewakili dalam penyebaran
kekayaan dalam masyarakat seperti zakat dan hukum waris.
2.
Berbagai larangan
digunakan untuk menghindari bertumbuhnya kejahatan praktek bisnis yang tidak
sehat[33].
Al-Ghazali
mendefiniskan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka
sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni
kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajat), dan kemewahan
(tahsiniaat)[34].
Menurut Qutub bahwa ada
tiga dasar yang menjadi landasan keadilan sosial di dalam Islam; 1) kebebasan
rohaniah yang mutlak, 2) persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan 3) tanggung
jawab sosial yang kokoh[35].
Kebebasan
rohaniah yang mutlak membawa manusia kedalam ketauhidan dan tidak menyekutukan
dengan satupun selain Allah SWT.. Maka implikasinya yaitu dalam beribadah kita
tidak perlu perantara yang lain. Cukup Allah yang menjadi sandaran dari
berbagai masalah kehidupan. Dengan ketauhidan pula akan memberikan keyakinan
bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah SWT.. Tugas manusia hanya ikhtiar
dan berdoa.
Firman
Allah SWT. dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-4:
قُلۡ
هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ .ٱللَّهُ
ٱلصَّمَدُ .لَمۡ
يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ.وَلَمۡ
يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ.
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas:1-4)
Prinsip
persamaan dalam Islam menjadikan semua manusia sejajar dihadapan Allah. Islam
tidak mengenal perbedaan bahasa, warna kulit, ras, kekayaan, kedudukan, dan
kasta. Yang menentukan tinggi rendahnya seseorang dihadapan Allah hanya
keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat
Al-Mujadilah ayat 11:
... يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖ...
... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...
(QS. Al Mujadilah:11)
Ayat-ayat
yang menerangkan persamaan dalam Islam antara lain; surat. Maryam ayat 95,
surat Al-Mursalat ayat 20-23, surat Fathir ayat 11, dan surat Ath-Thariq ayat
5-7.
Manusia
sebagai makhluk sosial tentunya akan selalu bersinggungan dengan manusia yang
lainnya. Ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain, ada tanggung jawab
yang harus dipikulnya. Menurut A. Djazuli tanggug jawab tersebut adalah:
1. Tanggung jawab terhadap dirinya, dijelaskan dalam surat Al
Mudatsir ayat 38, Al Najm ayat 36-41, Al Baqarah ayat 286, Az Zumar ayat 41,
dan An Nisa’ ayat 111.
2. Tanggung jawab terhadap keluarganya, dijelaskan dalam surat Bani
Israil ayat 23-24, Luqman ayat 14, Al Baqarah ayat 233, dan An Nisa ayat 11-12.
3. Tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan sebaliknya,
dijelaskan dalam surat At Taubah ayat 105[36].
Pada
akhirnya prinsip keadilan dan pemerataan dalam distribusi bertujuan; pertama,
kekayaan tidak boleh dipustkan pada sekelompok orang saja, tetapi harus
menyebar kepada seluruh masyarakat; kedua, hasil-hasil produksi yang bersumber
dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil; ketiga, Islam tidak
mengizinkan tumbuhnya harta kekayaan yang melampaui batas-batas yang wajar
apalagi jika diperoleh dengan cara yang tidak benar[37].
4.
Kewajiban Zakat
Zakat
adalah salah satu instrumen kebijakan negara dalam bidang ekonomi. Pengaruh
zakat terhadap perekonomian sangat penting, selain sebagai sarana pemerataan
kekayaan, zakat juga mempunyai pengarh positif terhadap yang lainnya seperti
pengentasan kemiskinan. Yusuf Qaradhawi berpandangan lebih jauh bahwa zakat
tidak hanya untuk mengentaskan kemiskinan, namun zakat juga bertujuan untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan kemasyarakatan lainnya[38]. Menurut
M. Nur Rianto Al Arif bahwa untuk mengatasi kemiskinan harus terlebih dahulu
diawali dengan membangun tatanan ekonomi yang memungkinkan lahirnya sistem
distribusi yang adil, mendorong lahirnya kepedulian dari orang berpunya (ahl-aghniya)
terhadap kaum fakir, miskin, dhuafa, dan mustadhafin.... Salah satu bentuk
kepedulian ahl-aghniya adalah kesediannya untuk membayar zakat dan
mengeluarkan shadaqah[39].
Zakat
merupakan syariat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Zakat juga penah
diperintahkan pada umat-umat nabi terdahulu Saw. Perintah untuk menunaikan
zakat dalam Al-Quran terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 110:
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ
خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah:110).
Selain
dari surat Al-Baqarah ayat 110, perintah untuk menunaikan zakat terdapat juga
dalam QS. An-Nisaa:77, QS. Al-Hajj:78, QS. An-Nuur:56, QS.
Al-Ahzab:33, QS. Al-Mujaadilah:13, dan QS. Al-Muzzammil:20[40].
5.
Mencegah Kemadlaratan
Selain
intervensi negara terhadap keempat masalah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Intervensi negara juga diperlukan untuk mencegah kemadlaratan yang ditimbulkan
oleh pertentangan atau konflik antar warga negaranya. Negara harus menjadi
hakim dan sekaligus mengeksekusi keputusannya langsung untuk menyelesaikan
persengketaan. Kemadlaratan dapat muncul dari kepemilikan seseorang atas harta
benda. Kadang kepemilikan seseorang tidak membahayakan bagi orang lain,
meskipun begitu kadang kepemilikan seseorang bisa mengganggu atau menghambat
orang lain untuk menikmati akan barang tersebut.
Diriwayatkan
dari Abu Ja’far Muhammad Baqir dari ayahnya Ali Zain al Abidin berkata:
“Samrah memiliki sebuah pohon
kurma, dimana dahannya menjulur pada tembok rumah salah seotrang Anshar, orang
Anshar dan dan keluarganya merasa terganggu dengan dahan tersebut, kemudian dia
mengadu kepada Rasulullah, Rasulullah kemudian bersabda kepada orang yang
mempunyai pohon kurma: ‘juallah pohon kurma itu’ ternyata dia tidak mau
menjualnya. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘potonglah pohon itu’ diapun tidak
mau memotongnya. Rasulullah bersabda: ‘berikanlah pohon itu kepadanya, maka
engkau akan mendapatkan gantinya di surga” dan dia masih tidak mau. Kemudian
Rasulullah berpaling dan berkata kepada orang itu: ‘engkau adalah sumber
bencana’ dan selanjutnya Rasulullah menghadap kepada orang Anshar dan bersabda:
‘pergilah dan cabut pohon itu!’”.
Dari
hadits diatas dapat disimpulkan bahwa negara harus hadir ketika terjadi
persengketaan antar warga negaranya. Negara harus menjadi penengah atau negara
juga harus memihak salah satu pihak yang dianggap benar. Rasulullah Saw.
Sendiri selain berfungsi sebagai Nabi, beliau juga berfungsi sebagai kepala
negara dan pemerintahan pada waktu itu.
BAB
III
KESIMPULAN
"Kepemilikan"
sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka"
yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti
kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut
dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Terdapat tiga
macam kepemilikan yaitu kepemilikan individu adalah izin syariat pada
individu untuk memanfaatkan suatu barang. Kepemilikan umum adalah izin
syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang
berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari
seperti air, udara, cahaya, api, rumput, sumber energi, dll. Kepemilikan
negara adalah izin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatan dan
pengelolaannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara.
Untuk
menjaga kepemilikan tersebut maka dibutuhkan intervensi pemerintah untuk
mengaturnya. Intervensi tersebut dapat berupa penyediaan
fasilitas umum atau regulasi melalui berbagai peraturan perundang undangan.
Dengan berbagai peraturan perundangan tersebut diharapkan negara akan mampu
menjaga warga negaranya baik harta miliknya, maupun kesejahteraan sosialnya.
Untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dalam melindungi hak
milik pribadi dan umum negara diperlukan alat atau instrumen kebijakan yaitu;
sistem pembagian harta waris, harta anak yatim, distribusi harta, kewajiban
zakat, dan mencegah kemadlaratan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdad, M.
Zaidi, Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam, Bandung: Angkasa
Bandung, 2003.
Al Arif, M. Nur
Rianto, Teori Makro Ekonomi Islam, Bandung: Alfabeta, 2010.
Al Asqalani, Al
Hafidh Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu,
1995.
Al-Assal, Ahmad
Muhammad dan Karim, Fathi Ahmad Abdul, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Al-Maliki,
Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Jatim: Al-Izzah, 2001.
Al-Mishri,
Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Al-Mundziri,
Imam, Ringkasan Shahih Muslim,
Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Ali, Zainuddin,
Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Asshiddiqie,
Jimly, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2013.
Azizy, A.
Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Chapra, M.
Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi,
Jakarta: Gema Insani, 2000.
Djazuli, A., Fiqh
Siyasah, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Hidayat, Budi
Ali, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id, Bandung: Titian Ilmu, 2009.
Huda, Nurul dan
Muti, Ahmad, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Al-Kharaj, Bogor: Ghalia Indonesia,
2011.
Idri, Hadis
Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta: Prenadamedia Group,
2015.
Izzan, Ahmad
dan Tanjung, Syahril, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang
Berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Karim,
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012.
Mardani, Ayat-Ayat
Dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Naf’an, Ekonomi
Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Naqvi, Syed
Nawab Haidar, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Nawawi, Ismail,
Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: CV.
Putra Media Nusantara, 2009.
Praja, Juhaya
S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: PT. Lathifah Press, 2009.
Qaradhawi,
Yusuf, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Jakarta:
Zikrul Hakim, 2005.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995.
_______________,
Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Saefuddin, AM,
Membumikan Ekonomi Islam, Jakarta: PT PPA Consultants, 2011.
Suhendi, Hendi,
Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Sukirno, Sadono,
Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Suntana, Ija, Politik
Ekonomi Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Syafei,
Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
[1]
AM Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT PPA Consultants,
2011), 154.
[2]
Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
71.
[3]
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 21.
[4]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 27-29.
[5]
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
4-5.
[6]
Abdul Sami’ Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 32-33.
[7]
A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 163.
[8]
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum,
(Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 85.
[9]
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), 393.
[10]
Jimmly Asshiddiqie merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI pertama periode
2003-2008. Mahkaman Konstitusi itu sendiri merupakan alat kelengkapan negara
yang lahir dari jiwa Reformasi 1998. MK lahir setelah terjadinya empat kali
amandemen terhadap UUD 1945 yaitu pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
[11]
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 141.
[12]
Syed Nawab Haidar Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), 46-47.
[13]
Ahmad Muhammad Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan
Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 42.
[14]
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Al-Kharaj,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 31.
[15]
M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani,
2000), 85.
[16]
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, 345.
[17]
Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, 46.
[18]
Suntana, Politik Ekonomi Islam, 54.
[19]
Zawil furud adalah kelompok orang yang menerima sebagian hak ahli waris.
[20]
Penulis mengartikan sensitif karena dapat menimbulkan perselisihan apabila
tidak dibagikan secara adil.
[21]
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id, (Bandung: Titian
Ilmu, 2009), 8.
[22]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), 119.
[23]
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 545.
[24]
Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011), 173.
[25]
Menurut Penulis, sistem perwarisan harus diatur oleh pemerintah melalui
pembentukan regulasi perundangan. Tentunya perundangan yang dibuat harus
didasarkan pada sistem waris menurut syariat Islam atau dengan istilah formalisasi
hukum Islam. Perlu adanya formalisasi dalam sistem kewarisan supaya
kedudukan hukum Islam tersebut lebih kuat secara legaliitas dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Karena jangan sampai sistem waris Islam kalah
dari sistem waris adat yang ada diberbagai daerah Indonesia. Karena kalau
seperti itu yang terjadi maka teori receptie yang digagas oleh Prof.
Christian Snouck Hurgronye masih menempati sistem hukum di Indonesia (teori
receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat,
hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah
diterima oleh Masyarakat sebagai hukum adat), (Juhaya S. Praja, 2009:135).
Padahal menurut Prof. Dr. Hazairin bahwa teori receptie sudah tidak
berlaku lagi di Indonesia atau keluar dari Indonesia semenjak Indonesia merdeka
karena tidak sesuai dengan jiwa UUD ’45 yang dikenal dengan teori receptie
in exit. Teori Hazairin tersebut diperkuat oleh teori receptie a
contrario dari Sayuti Thalib, SH. yang merupakan kebalikan/ lawan dari
teori receptie. Untuk lebih jelasnya baca buku karangan Dr. Muhammad
Iqbal yang berjudul Hukum Islam Indonesia Modern, penerbit Gaya Media
Pratama dan karangan Dr. Mardani yang berjudul Hukum Islam, penerbit
Pustaka Pelajar.
[26]
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
produk dari Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991.
[27]
Orang safih yaitu orang yang tidak bisa mengelola dan mentasarufkan harta
dengan baik.
[28]
Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, 56.
[29]
Lihat buku karya Abdurrahman al-Maliki yang berjudul Politik Ekonomi Islam,
penerbit Al-Izzah. Menurut al-Maliki bahwa sistem kapitalisme sekarang telah
terbukti kebobrokannya. Buktinya terlihat dari adanya kesepakatan untuk
menjadikan sistem ekonomi semua dibangun atas asas pertambahan pendapatan
nasional disertai tambal-sulamnya berupa konsep keadilan sosial (al-‘adalah
al-ijtima’iyyah) dan pencangkokan sosialisme, hal. 7.
[30]
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), 63.
[31]
Naf’an, Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), 243.
[32] M.
Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Ummat Di Dunia Islam, (Bandung:
Angkasa Bandung, 2003), 59.
[34]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), 318.
[37]
Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), 151.
[38]
Yusuf Qaradhawi, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), 30.
[39]
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta,
2010), 249.
[40]
Ahmad Izzan dan Syahril Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat
Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
367-368.
Trekz Titanium headphones
BalasHapus› products › products titanium canteen Trekz Titanium headphones feature the titanium exhaust wrap signature design of the iconic band that provides trekz titanium the titanium blade highest quality sound quality titanium nose hoop on the headphones. The headphones' signature Model #: ZX5R